Dalam banyak
kasus di tujuh wilayah penelitian, terbukti perempuan tidak memiliki hak atas
tubuhnya sendiri. Jika seorang ibu hamil yang menentukan kemana dan kepada
siapa ia memeriksakan kehamilan adalah suaminya. Selain itu budaya dan keluarga
juga melarang melakukan banyak hal selama hamil yang sebenarnya justru baik
bagi kesehatan ibu hamil. Dalam proses persalinan yang bermasalah, seorang ibu
seharusnya mendapatkan pertolongan segera, namun suami dan keluarganya justru
sibuk bermusyawarah tentang tindakan yang akan mereka ambil untuk menolong ibu
bersalin. Karena terlalu lamanya musyawarah yang dilakukan, ibu bersalin
tersebut meninggal sebelum sempat diputuskan hasil musyawarah suami dan
keluarganya.
Ketidaksetaraan
gender didasarkan pada nilai-nilai patriarki, dimana perempuan ditempatkan di
ruang domestic sementara laki-laki aktif di ruang public. Pekerjaan domestic
merupakan pekerjaan tanpa bayaran sehingga sekeras apapun pekerjaan yang
dilakukan perempuan, tetap dianggap tidak produktif karena tidak meghasilkan
uang.
Dalam banyak
kasus keluarga dengan keterbatasan ekonomi, perempuan dituntut memiliki peran
ganda. Selain melakukan pekerjaan domestic yang menguras waktu dan energy,
mereka juga harus membantu suami mencari nafkah menghasilkan uang tanpa bisa
meninggalkan pekerjaan domestiknya di rumah. Mereka harus bangun paling pagi
sebelum keluarganya bangun dan tidur paling akhir setelah keluarganya tidur.
Meskipun
perempuan menjalankan tugas ganda, tradisi patriarki dan nilai-nilai sosial
menghambat mereka mendapatkan wewenang atas tubuh mereka sendiri dan kehidupan
reproduksi mereka. Perbedaan pandangan antara perempuan yang sakit dengan
laki-laki yang sakit sangat menyulitkan posisi dan kondisi perempuan di
masyarakat. Jika seorang laki-laki sakit maka ia akan segera memeriksakan diri
ke fasilitas kesehatan karena dianggap mengganggu rutinitasnya dalam mencari
nafkah (= uang) untuk keluarga. Sebaliknya, jika perempuan jatuh sakit maka
dianggap biasa saja, hanya minum obat warung dan pengobatan sederhana lain,
bahka tidak dianggap sakit. Perempuan tidak ingin menghabiskan uang untuk diri
mereka sendiri. Mereka akan pergi berobat jika sakit yang diderita sudah sangat
parah dan tidak bisa bangun dari tempat tidur.
Hal di atas
terjadi karena perempuan dianggap kurang memiliki nilai produktif (menghasilkan
uang) jika dibandingkan laki-laki. Padahal Laporan hasil Pembangunan Manusia
tahun 2004 menunjukkan bahwa selain Surakarta, perempuan memberikan lebih
banyak kontribusi pendapatan keluarga dibandingkan laki-laki.
Dalam hal
penggunaan alat kontrasepsi, jumlah
perempuan jauh lebih banyak disbanding laki-laki. Terlebih lagi, pilihan alat
kontrasepsi yang digunakan tidak dibuat oleh perempuan sendiri melainkan oleh
suami atau tenaga kesehatan. Di beberapa daerah bahkan tidak mengizinkan
perempuan menggunakan alat kontrasepsi sampai mendapatkan anak laki-laki.
Mirisnya nasib
perempuan di Indonesia bertambah lengkap ketika berbicara masalah Penyakit
Menular Seksual (PMS). Berdasarkan hasil survey WRI di tujuh wilayah menunjukan
bahwa 50% perempuan di wilayah tersebut mengaku pernah mengalami gejala yang
berkaitan dengan PMS. Dan sayangnya lagi 60% dari mereka memilih untuk tidak
melakukan pemeriksaan medis dengan alasan malu jika vaginanya diperiksa, merasa akan dipermalukan orang termasuk
suaminya saat menemukan gejala tersebut meskipun mereka terinfeksi oleh suami
mereka sendiri. Perempuan-perempuan tersebut hanya menganggap bahwa gejala yang
mereka rasakan akan hilang tanpa perlu pengobatan.
Sulitnya
memperjuangkan kesehatan reproduksi perempuan semakin dikuatkan oleh nilai
budaya dan interpretasi agama yang salah. Perempuan dianggap tidak boleh
menolak ajakan suami untuk berhubungan seksual dan berdosa jika menolanya.
Beberapa daerah juga memiliki budaya yang semakin memojokkan posisi perempuan,
diantaranya :
Ø
Di Sumba Barat ada tradisi belis saat
pernikahan yang berate bahwa perempuan telah dibeli dan dianggap sebagai objek
yang menjadi milik suami dan keluarga suami.
Ø
Di Sasak ada tradisi merariq dimana seorang laki-laki menculik perempuan pilihannya untuk dinikahi
meskipun perempuan yang bersangkutan tidak setuju.
Ø
Di Lampung Utara perkawinan
diikat dengan harga mempelai perempuan (ngakuk mulei) yang diberikan oleh keluarga laki-laki kepada
keluarga mempelai perempuan yang berrati pemindahan “kepemilikan” dari keluarga
perempuan menjadi milik keluarga laki-laki selamanya. Selain itu, perempuan
juga tidak mendapatkan warisan dari keluarganya.
Ø
Di Indramayu dikenal budaya luruh duit dimana perempuan disiapkan bekerja sebagai PSK, bahkan oleh
keluarganya sendiri. Jika dapat menghasilan banyak uang dan membantu
perkembangan ekonomi keluarga maka perempuan tersebut akan dianggap sebagai
pahlawan oleh keluarganya.
Ø Di Lombok Tengah keluarga miskin menganggap anak perempuan mereka sebagai
investasi dan mengatur agar mereka menikah di usia 15 bahkan 13 tahun untuk
mengurangi beban kelaurga. Orang tua biasa menawarkan anak perempuannya kepada
guru agama untuk dinikahkan karena dianggap terpandang dan hidup mapan untuk
membiayai istrinya.
Interpretasi agama yang
salah menyebabkan AKI di Indonesia makin sulit diturunkan. Banyak orang salah
menginterpretasikan ayat Al Quran yang menyebutkan laki-laki boleh memiliki
empat istri. Padahal hal tersebut dibolehkan jika suami memiliki kemampuan berbuat
adil dan mampu menafkahi istrinya secara adil dan mapan. Selain itu ada juga
pelarangan penggunaan IUD karena dianggap membuka aurat. Perempuan yang
meninggal akan mendapat ganjaran surge juga mendorong tingginya AKI di
Indonesia. dalam agama Hindu, perempuan tidak menerima warisan dan pura
keluarga sehingga mereka tidak menerima asset ekonomi dari keluarga dan tidak
membawa kekayaan apapun saat menikah. Hal ini menyebabkan perempuan akan
dianggap rendah oleh keluarga suami. Penolakan penggunaan alat kontrasepsi oleh
perempuan ternyata dianggap menolak keberuntungan (rejeki) dari Tuhan karena
diyakini banyak anak banyak rejeki.
Satu Desa, Satu Polindes, Satu Bidan
Program pemerintah yang
hanya menargetkan perbaikan peralatan, infrastruktur dan penyedia pelayan
kesehatan terbukti tidak efektif mengurangi AKI. Strategi yang diterapkan
seharusnya membawa fasilitas kesehatan reproduksi mendekati rumah penduduk.
Kebijakan “Satu Desa, sati Polindes, dan Satu Bidan” lebih baik digunakan
ketimbang memperbaiki infrastruktur fasilitas kesehatan yang justru tidak
terjangkau untuk masyarakat miskin. Kebijakan tersebut mewajibkan pemerintah
menyediakan tempat untuk membangun Polindes di tengah desa. Selain itu
pemerintah juga sebaiknya menyediakan anggaran yang mencukupi untuk melengkapi
Polindes dengan sarana memadai untuk persalinan seperti listrik, air bersih,
kamar mandi dan sanitasi yang baik. Pemerintah juga perlu memberikan fasilitas
sepeda motor untuk setiap Bidan agar memudahkan mereka melakukan mobilisasi
selama menolong persalinan.
Keberadaan jamkesmas juga
perlu diperbaiki untuk mendukung kebijakan penurunan AKI. Selama ini masyarakat
mengaku bahwa pemberian Jamkesmas bukan berdasarkan indicator keluarga miskin
tetapi berdasarkan kedekatan dan kekeluargaan dengan petugas yang berwenang.
Saat klaim untuk persalinan yang dilakukan bidan pun banyak keterlambatan, yang
seharusnya 3 minggu menjadi 6 bulan. Hambatan utama untuk membuat kebijakan ini
adalah pembuat kebijakan, yang sebagian besar laki-laki, tidak memandang
kehidupan perempuan miskin layak untuk diselamatkan.
Ketidaksetaraan gender dan
ketidakadilan yang berakar dari nilai-nilai budaya dan interpretasi agama juga
menyebabkan sulitnya upaya untuk mengurangi AKI di Indonesia. Selain membuat
kebijakan di atas, alangkah baiknya jika pemerintah mampu membangkitkan
kesadaran bahwa menyelamatkan hidup perempuan dalam persalinan berarti
menyelamatkan sumber daya produktif keluarga perlu dilakukan bersama untuk
menurunkan AKI di Indonesia saat ini. Mengingat selama ini keputusan hidup dan
matinya perempuan selama persalinan berada di tangan suami dan keluarganya.
Akan muncul dampak yang
bermanfaat bagi pemenuhan hak kesehatan reproduksi perempuan jika pemerintah
memiliki kemauan politik untuk melindungi seluruk penduduk. Sebagai contoh di
Kabupaten Jembrana yang dikategorikan sebagai kabupaten miskin, tidak
menjadikan sumber daya yang terbatas sebagai penghalang untuk menyediakan
pelayanan kesehatan gratis untuk seluruh penduduknya, termasuk perempuan miskin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar