Rabu, 02 Mei 2012

Wewenang Atas Tubuh Perempuan Dan Tingginya Angka Kematian Ibu


Dalam banyak kasus di tujuh wilayah penelitian, terbukti perempuan tidak memiliki hak atas tubuhnya sendiri. Jika seorang ibu hamil yang menentukan kemana dan kepada siapa ia memeriksakan kehamilan adalah suaminya. Selain itu budaya dan keluarga juga melarang melakukan banyak hal selama hamil yang sebenarnya justru baik bagi kesehatan ibu hamil. Dalam proses persalinan yang bermasalah, seorang ibu seharusnya mendapatkan pertolongan segera, namun suami dan keluarganya justru sibuk bermusyawarah tentang tindakan yang akan mereka ambil untuk menolong ibu bersalin. Karena terlalu lamanya musyawarah yang dilakukan, ibu bersalin tersebut meninggal sebelum sempat diputuskan hasil musyawarah suami dan keluarganya.
Ketidaksetaraan gender didasarkan pada nilai-nilai patriarki, dimana perempuan ditempatkan di ruang domestic sementara laki-laki aktif di ruang public. Pekerjaan domestic merupakan pekerjaan tanpa bayaran sehingga sekeras apapun pekerjaan yang dilakukan perempuan, tetap dianggap tidak produktif karena tidak meghasilkan uang.
Dalam banyak kasus keluarga dengan keterbatasan ekonomi, perempuan dituntut memiliki peran ganda. Selain melakukan pekerjaan domestic yang menguras waktu dan energy, mereka juga harus membantu suami mencari nafkah menghasilkan uang tanpa bisa meninggalkan pekerjaan domestiknya di rumah. Mereka harus bangun paling pagi sebelum keluarganya bangun dan tidur paling akhir setelah keluarganya tidur.
Meskipun perempuan menjalankan tugas ganda, tradisi patriarki dan nilai-nilai sosial menghambat mereka mendapatkan wewenang atas tubuh mereka sendiri dan kehidupan reproduksi mereka. Perbedaan pandangan antara perempuan yang sakit dengan laki-laki yang sakit sangat menyulitkan posisi dan kondisi perempuan di masyarakat. Jika seorang laki-laki sakit maka ia akan segera memeriksakan diri ke fasilitas kesehatan karena dianggap mengganggu rutinitasnya dalam mencari nafkah (= uang) untuk keluarga. Sebaliknya, jika perempuan jatuh sakit maka dianggap biasa saja, hanya minum obat warung dan pengobatan sederhana lain, bahka tidak dianggap sakit. Perempuan tidak ingin menghabiskan uang untuk diri mereka sendiri. Mereka akan pergi berobat jika sakit yang diderita sudah sangat parah dan tidak bisa bangun dari tempat tidur.
Hal di atas terjadi karena perempuan dianggap kurang memiliki nilai produktif (menghasilkan uang) jika dibandingkan laki-laki. Padahal Laporan hasil Pembangunan Manusia tahun 2004 menunjukkan bahwa selain Surakarta, perempuan memberikan lebih banyak kontribusi pendapatan keluarga dibandingkan laki-laki.
Dalam hal penggunaan alat kontrasepsi,  jumlah perempuan jauh lebih banyak disbanding laki-laki. Terlebih lagi, pilihan alat kontrasepsi yang digunakan tidak dibuat oleh perempuan sendiri melainkan oleh suami atau tenaga kesehatan. Di beberapa daerah bahkan tidak mengizinkan perempuan menggunakan alat kontrasepsi sampai mendapatkan anak laki-laki.
Mirisnya nasib perempuan di Indonesia bertambah lengkap ketika berbicara masalah Penyakit Menular Seksual (PMS). Berdasarkan hasil survey WRI di tujuh wilayah menunjukan bahwa 50% perempuan di wilayah tersebut mengaku pernah mengalami gejala yang berkaitan dengan PMS. Dan sayangnya lagi 60% dari mereka memilih untuk tidak melakukan pemeriksaan medis dengan alasan malu jika vaginanya diperiksa,  merasa akan dipermalukan orang termasuk suaminya saat menemukan gejala tersebut meskipun mereka terinfeksi oleh suami mereka sendiri. Perempuan-perempuan tersebut hanya menganggap bahwa gejala yang mereka rasakan akan hilang tanpa perlu pengobatan.
Sulitnya memperjuangkan kesehatan reproduksi perempuan semakin dikuatkan oleh nilai budaya dan interpretasi agama yang salah. Perempuan dianggap tidak boleh menolak ajakan suami untuk berhubungan seksual dan berdosa jika menolanya. Beberapa daerah juga memiliki budaya yang semakin memojokkan posisi perempuan, diantaranya :
Ø  Di Sumba Barat ada tradisi belis saat pernikahan yang berate bahwa perempuan telah dibeli dan dianggap sebagai objek yang menjadi milik suami dan keluarga suami.
Ø  Di Sasak ada tradisi merariq dimana seorang laki-laki menculik perempuan pilihannya untuk dinikahi meskipun perempuan yang bersangkutan tidak setuju.
Ø  Di Lampung Utara perkawinan diikat dengan harga mempelai perempuan (ngakuk mulei)  yang diberikan oleh keluarga laki-laki kepada keluarga mempelai perempuan yang berrati pemindahan “kepemilikan” dari keluarga perempuan menjadi milik keluarga laki-laki selamanya. Selain itu, perempuan juga tidak mendapatkan warisan dari keluarganya.
Ø  Di Indramayu dikenal budaya luruh duit dimana perempuan disiapkan bekerja sebagai PSK, bahkan oleh keluarganya sendiri. Jika dapat menghasilan banyak uang dan membantu perkembangan ekonomi keluarga maka perempuan tersebut akan dianggap sebagai pahlawan oleh keluarganya.
Ø  Di Lombok Tengah keluarga miskin menganggap anak perempuan mereka sebagai investasi dan mengatur agar mereka menikah di usia 15 bahkan 13 tahun untuk mengurangi beban kelaurga. Orang tua biasa menawarkan anak perempuannya kepada guru agama untuk dinikahkan karena dianggap terpandang dan hidup mapan untuk membiayai istrinya.
Interpretasi agama yang salah menyebabkan AKI di Indonesia makin sulit diturunkan. Banyak orang salah menginterpretasikan ayat Al Quran yang menyebutkan laki-laki boleh memiliki empat istri. Padahal hal tersebut dibolehkan jika suami memiliki kemampuan berbuat adil dan mampu menafkahi istrinya secara adil dan mapan. Selain itu ada juga pelarangan penggunaan IUD karena dianggap membuka aurat. Perempuan yang meninggal akan mendapat ganjaran surge juga mendorong tingginya AKI di Indonesia. dalam agama Hindu, perempuan tidak menerima warisan dan pura keluarga sehingga mereka tidak menerima asset ekonomi dari keluarga dan tidak membawa kekayaan apapun saat menikah. Hal ini menyebabkan perempuan akan dianggap rendah oleh keluarga suami. Penolakan penggunaan alat kontrasepsi oleh perempuan ternyata dianggap menolak keberuntungan (rejeki) dari Tuhan karena diyakini banyak anak banyak rejeki.

Satu Desa, Satu Polindes, Satu Bidan

Program pemerintah yang hanya menargetkan perbaikan peralatan, infrastruktur dan penyedia pelayan kesehatan terbukti tidak efektif mengurangi AKI. Strategi yang diterapkan seharusnya membawa fasilitas kesehatan reproduksi mendekati rumah penduduk. Kebijakan “Satu Desa, sati Polindes, dan Satu Bidan” lebih baik digunakan ketimbang memperbaiki infrastruktur fasilitas kesehatan yang justru tidak terjangkau untuk masyarakat miskin. Kebijakan tersebut mewajibkan pemerintah menyediakan tempat untuk membangun Polindes di tengah desa. Selain itu pemerintah juga sebaiknya menyediakan anggaran yang mencukupi untuk melengkapi Polindes dengan sarana memadai untuk persalinan seperti listrik, air bersih, kamar mandi dan sanitasi yang baik. Pemerintah juga perlu memberikan fasilitas sepeda motor untuk setiap Bidan agar memudahkan mereka melakukan mobilisasi selama menolong persalinan.
Keberadaan jamkesmas juga perlu diperbaiki untuk mendukung kebijakan penurunan AKI. Selama ini masyarakat mengaku bahwa pemberian Jamkesmas bukan berdasarkan indicator keluarga miskin tetapi berdasarkan kedekatan dan kekeluargaan dengan petugas yang berwenang. Saat klaim untuk persalinan yang dilakukan bidan pun banyak keterlambatan, yang seharusnya 3 minggu menjadi 6 bulan. Hambatan utama untuk membuat kebijakan ini adalah pembuat kebijakan, yang sebagian besar laki-laki, tidak memandang kehidupan perempuan miskin layak untuk diselamatkan.
Ketidaksetaraan gender dan ketidakadilan yang berakar dari nilai-nilai budaya dan interpretasi agama juga menyebabkan sulitnya upaya untuk mengurangi AKI di Indonesia. Selain membuat kebijakan di atas, alangkah baiknya jika pemerintah mampu membangkitkan kesadaran bahwa menyelamatkan hidup perempuan dalam persalinan berarti menyelamatkan sumber daya produktif keluarga perlu dilakukan bersama untuk menurunkan AKI di Indonesia saat ini. Mengingat selama ini keputusan hidup dan matinya perempuan selama persalinan berada di tangan suami dan keluarganya.
Akan muncul dampak yang bermanfaat bagi pemenuhan hak kesehatan reproduksi perempuan jika pemerintah memiliki kemauan politik untuk melindungi seluruk penduduk. Sebagai contoh di Kabupaten Jembrana yang dikategorikan sebagai kabupaten miskin, tidak menjadikan sumber daya yang terbatas sebagai penghalang untuk menyediakan pelayanan kesehatan gratis untuk seluruh penduduknya, termasuk perempuan miskin.
  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar