Rabu, 02 Mei 2012

Kualitas dan Kuantitas Tenaga Kesehatan Reproduksi Tidak Memadai



Berdasarkan keputusan Menteri Kesehatan No. 1202/Menkes/VIII/2003 diberlakukan metode rasio untuk menentukan jumlah kebutuhan tenaga kesehatan menurut jumlah penduduk di suatu wilayah. Dalam upaya penurunan Aki di Indonesia 4 tenaga kesehatan utama yang dibutuhkan yaitu Dokter Umum, Dokter Spesialis, Bidan, dan Perawat. Berdasarkan perhitungan rasio ini, 5 dari 7 tempat penelitian ini tergolong  tergolong sangat kekurangan tenaga kesehatan.
Tempat Penelitian
Tenaga Kesehatan
Ketersediaan
Kebutuhan
Kekurangan
Kekurangan (%)
Sumba Barat
Dokter Umum
49
160
111
69.4%
Bidan
165
400
235
58.8%
Perawat
232
470
238
50.6%
Lombok Tengah
Dokter Umum
34
275
241
87.6%
Bidan
129
630
501
79.5%
Perawat
282
621
339
54.6%
Lebak
Dokter Umum
88
471
383
81.3%
Bidan
208
1176
968
82.3%
Perawat
252
1382
1130
81.8%
Jembrana
Dokter Umum
74
101
27
26.7%
Bidan
134
253
119
47.0%
Perawat
217
298
81
27.2%
Indramayu
Dokter Umum
91
684
593
86.7%
Bidan
456
1709
1253
73.3%
Perawat
894
2008
1114
55.5%
Lampung Utara
Dokter Umum
44
224
180
80.4%
Bidan
167
561
394
70.2%
Perawat
264
662
398
60.1%
Surakarta
Dokter Umum
138
214
76
35.5%
Bidan
216
535
319
59.6%
Perawat
1521
628
-893
-142.2%
Secara kuantitas jelas terlihat di semua wilayah penelitian mengalami kekurangan tenaga kesehatan. Semakin terpencil suatu daerah justru semakin besar jumlah kekurangan tenaga kesehatan padahal justru mereka yang sangat membutuhkan tenaga kesehatan. Di beberapa wilayah tenaga kesehatan malah berkumpul di daerah perkotaan yang cenderung sudah banyak memiliki pilihan fasilitas kesehatan.
Secara umum, kualitas pelayanan yang diberikan oleh petugas juga dirasakan kurang memenuhi kebutuhan masyarakat, khususnya perempuan dalam memenuhi kebutuhan kesehatan reproduksinya. Sebagai contoh pelayanan ibu hamil yang diberikan bidan dianggap tidak sebaik pemeriksaan yang dilakukan oleh dokter jadi masyarakat cenderung memilih periksa ke dokter. Namun jumlah dokter sangat terbatas bahkan tidak ada sama sekali di wilayah pedesaan sehingga masyarakat hanya bisa melakukan pemeriksaan ke bidan. Jumlah bidan pun tidak jauh berbeda dengan dokter, langka nya bidan di desa-desa terpencil membuat ibu hamil dan bersalin sulin mendapatkan pertolongan bidan. Letak rumah yang jauh dan kondisi jalan serta sarana transportasi semakin menyulitkan masyarakat. Akhirnya masyarakat kembali memilih dukun bayi sebagai penolong persalinan, selain karena rumahnya dekat dengan warga, pelayanan yang diberikan untuk menolong ibu juga sangat lengkap termasuk membantu ibu, bayi dan keluarganya.




Pondok Bersalin Desa sebagai Langkah Awal Mengurangi

Angka Kematian Ibu di Indonesia

Sesuai ketetapan MPR No. II/1983 tentang GBHN menegaskan bahwa dalam rangka meningkatkan standar kesehatan dan kecerdasan masyarakat, peningkatan kesehatanm termasuk gizi, harus dilakukan dengan mengambangkan Sistem Kesehatan Nasional (SKN). Kebijakan ini member mandate kepada pemerintah untuk membangun fasilitas pelayanan kesehatan berkualita tinggi yang terjangkau dan mudah diakses masyarakat.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan terbukti bahwa mandat terbsebut belum dapat dijalankan secara maksimal oleh pemerintah. Hal ini dapat dibuktikan dengan melihat pendapat masyarakat terkait keterjangkauan menuju pelayanan kesehatan. Beberapa keluhan masyarakat antara lain:
1.      Jarak terlalu jauh, selain itu jalanan rusak, dan sarana transportasi masih jarang sehingga jika ada pun harus menunggu lama dan dengan biaya sangat mahal untuk satu kali perjalanan.
2.      Keamanan selama dalam perjalanan masih sangat kurang karena banyak kasus perampokan dan pencurian sehingga menyebabkan tidak mendapatkan izin ke pelayanan kesehatan jika sendirian.
3.      Desa-desa terpencil letaknya di wilayah pegunungan sedangkan fasilitas di wilayah datar berjarak minimal 4 km dan hanya bisa ditempuh dengan jalan kaki.
4.      Saat hendak bersalin, suami biasa memanggil bidan ke rumahnya dengan jarak sangat jauh, selain itu bidan belum tentu ada.
Untuk memperluas pelayanan dan memudahkan masyarakat desa mendapatkan pelayanan kesehatan dibuatlah Pondok bersalin desa atau yang biasa disingkat Polindes. Polindas dibangun berdasarkan kerjasama pemerintah dengan masyarakat, dimana masyarakat harus menyediakan lahan kosong untuk kemudian dibangun sebuah Polindes oleh pemerintah sekaligus ditempatkan satu bidan di sana. Harapannya masyarakat dapat mendapatkan pelayanan kesehatan, khususnya kesehatan reproduksi perempuan dengan mudah karena ada di desa sendiri.
Bidan yang bertugas di Polindes memiliki tugas memberikan pelayanan kesepada masyarakat, baik pelayanan kesehatan, KB, Imunisasi dan pemeriksaan ibu hamil serta bersalin. Bidan desa harus mampu memberikan pelayanan kepada masyarakat, jika menemukan penyakit sulit baru bidan merujuk pasien ke Puskesma terdekat.
Namun demikian, ternyata membuka dan mengoperasikan Polindes bukanlah hal mudah. Banyak kendala yang menyebabkan Polindes tidak dapat berjalan dengan baik atau bahkan tutup sama sekali. Beberapa kendala tersebut antara lain:
1.      Polindes berjarak jauh dari rumah warga. Hal ini disebabkan karena tanah yang diberikan oleh warga adalah tanah yang tidak produktif secara ekonomi sehingga biasanya jauh dari pemukiman. Bahkan ada Polindes yang didirikan di atas tanah makam yang tidak terpakai lagi.
2.      Fasilitas penting dalam menolong persalinan belum dimiliki Polindes, seperti listrik, kamar mandi, air bersih dan peralatan pendukung persalinan lainnya. Polindes hanya memiliki satu tempat tidur sehingga akan timbul masalah jika ada 2 ibu hamil datang untuk periksa kehamilan atau bahkan bersalin.
3.      Kondisi Polindes tidak terawatt dengan baik. Biasanya Polindes hanya menggunakan bilik, kayu, dan bahan non permanen lainnya sehingga dalam waktu singkat akan rusak.
4.      Keamanan di Polindes tidak terjaga dengan baik. Beberapa kali Polindes mengalami perampokan karena letaknya jauh dari rumah penduduk. Selain itu, budaya sekitar seperti di Lampung Utara yang memiliki kebiasaan menculik anak gadis untuk dinikahkan membuat bidan yang belum menikah was-was.
Karena kondisi di atas, keberlangsungan Polindes menjadi semakin langka dan mimpi memenuhi kebutuhan kesehatan masyarakat serta menurunkan AKI di Indonesia terasa masih jauh dari kenyataan. Selain hal-hal di atas, kesejahteraan bidan juga belum menjad perhatian pemerintah. Kecilnya gaji yang mereka dapat tidak sebanding dengan tanggung jawab yang diberikan. Oleh karenanya tidak dapat disalahkan jika bidan cenderung memilih tinggal di rumah sendiri dan membuka praktik pribadi untuk meningkatkan pendapatan. Akses masyarakat – khususnya masyarakat miskin – terhadap pelayanan kesehatan pun semakin sulit.

Dukun Bayi adalah Mitra Kerja

Peran dukun bayi dalam memberikan pelayanan kesehatan terutama untuk masyarakat miskin yang tidak dapat mengakses fasilitas kesehataaan karena jarak dan ketidakmampuan membayar.[1] Selain itu melahirkan dengan pertolongan dukun bayi memiliki kelebihan meskipun ada juga kelemahannya.[2] Beberapa kelebihan bersalin dengan bantuan dukun bayi, antara lain :
1.      Dukun bayi biasanya perempuan berumur lebih tua dan memiliki banyak pengalaman.
2.      Sangat sabar dan perhatian saat membarikan pelayanan.
3.      Pelayanan yang diberikan lebih komplet bahkan sampai memandikan ibu dan bayi setelah persalinan dan mencuci pakaian dan sprei yang terkena darah.
4.      Memiliki kemampuan mengubah posisi bayi sehingga mencegah bayi sung sang.
5.      Tidak mematok harga untuk setiap persalinan. Bahkan ketika tidak diberikan uang sama sekali, dukun hanya menganggapnya sebagai nasib dan tetap mengunjungi dan merawat ibu bersalin dan memandikan bayi hingga tali pusarnya lepas.
6.      Memijat ibu setelah 40 hari melahirkan agar stamina kembali fit.
7.      Memijat bayi sehingga bayi dapat tidur nyenyak.
8.      Masyarakat percaya pada kemampuan dukun bayi karena pengalaman, usia, dan doa dukun bayi yang manjur.
9.      Masyarakat juga percaya dukun bayi memiliki kekuatan mistik yang mampu memberikan pengobatan tradisional.
Disamping kebaikan yang dimiliki dukun bayi, terdapat banyak hal yang dapat dikatakan sebagai kekurangan ketika bersalin dengan bantuan dukun bayi.
1.      Dukun bayi tidak mengikuti pelatihan formal tentang persalinan. Mereka percaya bahwa kemampuan yang dimiliki adalah kekuatan turun temurun dari ibu mereka yang dulu juga merupakan seorang dukun bayi.
2.      Dukun bayi menggunakan alat-alat tradisional dan tidak disterilkan terlebih dahulu sebelum digunakan.
3.      Mengancam hidup perempuan yang mengalami pendarahan sebelum, selama, dan sesudah persalinan.
4.      Pengetahuan dukun bayi yang kuno membatasi efektifitas mereka dalam mendidik para perempuan yang mempercayai mitos-mitos local.
5.      Dukun bayi tidak member pengetahuan tentang KB.
6.      Tidak memahami komplikasi persalinan, apalagi mengajarkan hal tersebut pada ibu hamil.
Mengingat banyaknya Polindes yang tidak layak untuk tempat tinggal bidan, pengurangan AKI memerlukan kemitraan antara bidan dan dukun bayi. Mengubah pandangan bahwa dukun bayi adalah mitra dan bukan sebagai musuh. Di Indramayu, Lebak, Jembrana, dan Lampung Utara sudah menerapkan sistem ini. Dukun bayi diberikan pelatihan oleh dinas kesehatan. Masing-masing dukun bayi akan mendapat uang Rp.20.000,- sampai Rp.25.000,- jika mengikuti pelatihan. Selain itu mereka juga diberi seperangkat peralatan dan obat-obatan untuk membantu persalinan. Bahkan di Indramayu memiliki kebijkan memberikan insentif untuk dukun bayi jika mau bekerjasama memanggil bidan untuk menolong persalinan sebesar Rp.50.000,- dan denda Rp.50.000,- untuk dukun bayi yang menolong persalinan sendiri.



[1] Nunuk Widyanto dalam Woman Research Institute Akses Pemanfaatan Fasilitas Pelayanan Kesehatan Reproduksi bagi Perempuan Miskin di Tujuh Wilayah Penelitian, 2007 – 2008
[2] Roy Tijong dalam Woman Research Institute Akses Pemanfaatan Fasilitas Pelayanan Kesehatan Reproduksi bagi Perempuan Miskin di Tujuh Wilayah Penelitian, 2007 – 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar