Berdasarkan keputusan
Menteri Kesehatan No. 1202/Menkes/VIII/2003 diberlakukan metode rasio untuk
menentukan jumlah kebutuhan tenaga kesehatan menurut jumlah penduduk di suatu
wilayah. Dalam upaya penurunan Aki di Indonesia 4 tenaga kesehatan utama yang
dibutuhkan yaitu Dokter Umum, Dokter Spesialis, Bidan, dan Perawat. Berdasarkan
perhitungan rasio ini, 5 dari 7 tempat penelitian ini tergolong tergolong sangat kekurangan tenaga kesehatan.
Tempat Penelitian
|
Tenaga Kesehatan
|
Ketersediaan
|
Kebutuhan
|
Kekurangan
|
Kekurangan (%)
|
Sumba Barat
|
Dokter Umum
|
49
|
160
|
111
|
69.4%
|
Bidan
|
165
|
400
|
235
|
58.8%
|
|
Perawat
|
232
|
470
|
238
|
50.6%
|
|
Lombok Tengah
|
Dokter Umum
|
34
|
275
|
241
|
87.6%
|
Bidan
|
129
|
630
|
501
|
79.5%
|
|
Perawat
|
282
|
621
|
339
|
54.6%
|
|
Lebak
|
Dokter Umum
|
88
|
471
|
383
|
81.3%
|
Bidan
|
208
|
1176
|
968
|
82.3%
|
|
Perawat
|
252
|
1382
|
1130
|
81.8%
|
|
Jembrana
|
Dokter Umum
|
74
|
101
|
27
|
26.7%
|
Bidan
|
134
|
253
|
119
|
47.0%
|
|
Perawat
|
217
|
298
|
81
|
27.2%
|
|
Indramayu
|
Dokter Umum
|
91
|
684
|
593
|
86.7%
|
Bidan
|
456
|
1709
|
1253
|
73.3%
|
|
Perawat
|
894
|
2008
|
1114
|
55.5%
|
|
Lampung Utara
|
Dokter Umum
|
44
|
224
|
180
|
80.4%
|
Bidan
|
167
|
561
|
394
|
70.2%
|
|
Perawat
|
264
|
662
|
398
|
60.1%
|
|
Surakarta
|
Dokter Umum
|
138
|
214
|
76
|
35.5%
|
Bidan
|
216
|
535
|
319
|
59.6%
|
|
Perawat
|
1521
|
628
|
-893
|
-142.2%
|
Secara kuantitas jelas
terlihat di semua wilayah penelitian mengalami kekurangan tenaga kesehatan.
Semakin terpencil suatu daerah justru semakin besar jumlah kekurangan tenaga
kesehatan padahal justru mereka yang sangat membutuhkan tenaga kesehatan. Di beberapa
wilayah tenaga kesehatan malah berkumpul di daerah perkotaan yang cenderung
sudah banyak memiliki pilihan fasilitas kesehatan.
Secara umum, kualitas pelayanan yang diberikan oleh
petugas juga dirasakan kurang memenuhi kebutuhan masyarakat, khususnya perempuan
dalam memenuhi kebutuhan kesehatan reproduksinya. Sebagai contoh pelayanan ibu
hamil yang diberikan bidan dianggap tidak sebaik pemeriksaan yang dilakukan
oleh dokter jadi masyarakat cenderung memilih periksa ke dokter. Namun jumlah
dokter sangat terbatas bahkan tidak ada sama sekali di wilayah pedesaan
sehingga masyarakat hanya bisa melakukan pemeriksaan ke bidan. Jumlah bidan pun
tidak jauh berbeda dengan dokter, langka nya bidan di desa-desa terpencil
membuat ibu hamil dan bersalin sulin mendapatkan pertolongan bidan. Letak rumah
yang jauh dan kondisi jalan serta sarana transportasi semakin menyulitkan
masyarakat. Akhirnya masyarakat kembali memilih dukun bayi sebagai penolong
persalinan, selain karena rumahnya dekat dengan warga, pelayanan yang diberikan
untuk menolong ibu juga sangat lengkap termasuk membantu ibu, bayi dan
keluarganya.Pondok Bersalin Desa sebagai Langkah Awal Mengurangi
Angka Kematian Ibu di Indonesia
Sesuai ketetapan MPR No.
II/1983 tentang GBHN menegaskan bahwa dalam rangka meningkatkan standar
kesehatan dan kecerdasan masyarakat, peningkatan kesehatanm termasuk gizi,
harus dilakukan dengan mengambangkan Sistem Kesehatan Nasional (SKN). Kebijakan
ini member mandate kepada pemerintah untuk membangun fasilitas pelayanan kesehatan
berkualita tinggi yang terjangkau dan mudah diakses masyarakat.
Berdasarkan hasil penelitian
yang dilakukan terbukti bahwa mandat terbsebut belum dapat dijalankan secara
maksimal oleh pemerintah. Hal ini dapat dibuktikan dengan melihat pendapat masyarakat
terkait keterjangkauan menuju pelayanan kesehatan. Beberapa keluhan masyarakat
antara lain:
1. Jarak terlalu jauh, selain itu jalanan rusak, dan sarana transportasi
masih jarang sehingga jika ada pun harus menunggu lama dan dengan biaya sangat
mahal untuk satu kali perjalanan.
2.
Keamanan selama dalam perjalanan
masih sangat kurang karena banyak kasus perampokan dan pencurian sehingga
menyebabkan tidak mendapatkan izin ke pelayanan kesehatan jika sendirian.
3.
Desa-desa terpencil letaknya di
wilayah pegunungan sedangkan fasilitas di wilayah datar berjarak minimal 4 km
dan hanya bisa ditempuh dengan jalan kaki.
4. Saat hendak bersalin, suami biasa memanggil bidan ke rumahnya dengan
jarak sangat jauh, selain itu bidan belum tentu ada.
Untuk memperluas pelayanan
dan memudahkan masyarakat desa mendapatkan pelayanan kesehatan dibuatlah Pondok
bersalin desa atau yang biasa disingkat Polindes. Polindas dibangun berdasarkan
kerjasama pemerintah dengan masyarakat, dimana masyarakat harus menyediakan
lahan kosong untuk kemudian dibangun sebuah Polindes oleh pemerintah sekaligus
ditempatkan satu bidan di sana. Harapannya masyarakat dapat mendapatkan
pelayanan kesehatan, khususnya kesehatan reproduksi perempuan dengan mudah
karena ada di desa sendiri.
Bidan yang bertugas di
Polindes memiliki tugas memberikan pelayanan kesepada masyarakat, baik
pelayanan kesehatan, KB, Imunisasi dan pemeriksaan ibu hamil serta bersalin.
Bidan desa harus mampu memberikan pelayanan kepada masyarakat, jika menemukan
penyakit sulit baru bidan merujuk pasien ke Puskesma terdekat.
Namun demikian, ternyata
membuka dan mengoperasikan Polindes bukanlah hal mudah. Banyak kendala yang
menyebabkan Polindes tidak dapat berjalan dengan baik atau bahkan tutup sama
sekali. Beberapa kendala tersebut antara lain:
1. Polindes berjarak jauh dari rumah warga. Hal ini disebabkan karena
tanah yang diberikan oleh warga adalah tanah yang tidak produktif secara
ekonomi sehingga biasanya jauh dari pemukiman. Bahkan ada Polindes yang
didirikan di atas tanah makam yang tidak terpakai lagi.
2.
Fasilitas penting dalam menolong
persalinan belum dimiliki Polindes, seperti listrik, kamar mandi, air bersih
dan peralatan pendukung persalinan lainnya. Polindes hanya memiliki satu tempat
tidur sehingga akan timbul masalah jika ada 2 ibu hamil datang untuk periksa
kehamilan atau bahkan bersalin.
3.
Kondisi Polindes tidak terawatt
dengan baik. Biasanya Polindes hanya menggunakan bilik, kayu, dan bahan non
permanen lainnya sehingga dalam waktu singkat akan rusak.
4. Keamanan di Polindes tidak terjaga dengan baik. Beberapa kali Polindes
mengalami perampokan karena letaknya jauh dari rumah penduduk. Selain itu,
budaya sekitar seperti di Lampung Utara yang memiliki kebiasaan menculik anak
gadis untuk dinikahkan membuat bidan yang belum menikah was-was.
Karena kondisi di atas,
keberlangsungan Polindes menjadi semakin langka dan mimpi memenuhi kebutuhan
kesehatan masyarakat serta menurunkan AKI di Indonesia terasa masih jauh dari
kenyataan. Selain hal-hal di atas, kesejahteraan bidan juga belum menjad
perhatian pemerintah. Kecilnya gaji yang mereka dapat tidak sebanding dengan
tanggung jawab yang diberikan. Oleh karenanya tidak dapat disalahkan jika bidan
cenderung memilih tinggal di rumah sendiri dan membuka praktik pribadi untuk
meningkatkan pendapatan. Akses masyarakat – khususnya masyarakat miskin –
terhadap pelayanan kesehatan pun semakin sulit.
Dukun Bayi adalah Mitra Kerja
Peran dukun bayi dalam
memberikan pelayanan kesehatan terutama untuk masyarakat miskin yang tidak dapat
mengakses fasilitas kesehataaan karena jarak dan ketidakmampuan membayar.[1]
Selain itu melahirkan dengan pertolongan dukun bayi memiliki kelebihan meskipun
ada juga kelemahannya.[2]
Beberapa kelebihan bersalin dengan bantuan dukun bayi, antara lain :
1. Dukun bayi biasanya perempuan berumur lebih tua dan memiliki banyak
pengalaman.
2.
Sangat sabar dan perhatian saat
membarikan pelayanan.
3.
Pelayanan yang diberikan lebih
komplet bahkan sampai memandikan ibu dan bayi setelah persalinan dan mencuci
pakaian dan sprei yang terkena darah.
4.
Memiliki kemampuan mengubah
posisi bayi sehingga mencegah bayi sung sang.
5.
Tidak mematok harga untuk setiap
persalinan. Bahkan ketika tidak diberikan uang sama sekali, dukun hanya
menganggapnya sebagai nasib dan tetap mengunjungi dan merawat ibu bersalin dan
memandikan bayi hingga tali pusarnya lepas.
6.
Memijat ibu setelah 40 hari
melahirkan agar stamina kembali fit.
7.
Memijat bayi sehingga bayi dapat
tidur nyenyak.
8.
Masyarakat percaya pada kemampuan
dukun bayi karena pengalaman, usia, dan doa dukun bayi yang manjur.
9. Masyarakat juga percaya dukun bayi memiliki kekuatan mistik yang mampu
memberikan pengobatan tradisional.
Disamping kebaikan yang
dimiliki dukun bayi, terdapat banyak hal yang dapat dikatakan sebagai
kekurangan ketika bersalin dengan bantuan dukun bayi.
1. Dukun bayi tidak mengikuti pelatihan formal tentang persalinan. Mereka
percaya bahwa kemampuan yang dimiliki adalah kekuatan turun temurun dari ibu
mereka yang dulu juga merupakan seorang dukun bayi.
2.
Dukun bayi menggunakan alat-alat tradisional
dan tidak disterilkan terlebih dahulu sebelum digunakan.
3.
Mengancam hidup perempuan yang
mengalami pendarahan sebelum, selama, dan sesudah persalinan.
4.
Pengetahuan dukun bayi yang kuno
membatasi efektifitas mereka dalam mendidik para perempuan yang mempercayai
mitos-mitos local.
5.
Dukun bayi tidak member
pengetahuan tentang KB.
6. Tidak memahami komplikasi persalinan, apalagi mengajarkan hal tersebut
pada ibu hamil.
Mengingat banyaknya Polindes
yang tidak layak untuk tempat tinggal bidan, pengurangan AKI memerlukan
kemitraan antara bidan dan dukun bayi. Mengubah pandangan bahwa dukun bayi
adalah mitra dan bukan sebagai musuh. Di Indramayu, Lebak, Jembrana, dan
Lampung Utara sudah menerapkan sistem ini. Dukun bayi diberikan pelatihan oleh
dinas kesehatan. Masing-masing dukun bayi akan mendapat uang Rp.20.000,- sampai
Rp.25.000,- jika mengikuti pelatihan. Selain itu mereka juga diberi seperangkat
peralatan dan obat-obatan untuk membantu persalinan. Bahkan di Indramayu
memiliki kebijkan memberikan insentif untuk dukun bayi jika mau bekerjasama
memanggil bidan untuk menolong persalinan sebesar Rp.50.000,- dan denda
Rp.50.000,- untuk dukun bayi yang menolong persalinan sendiri.
[1]
Nunuk Widyanto dalam
Woman Research Institute Akses Pemanfaatan Fasilitas Pelayanan Kesehatan
Reproduksi bagi Perempuan Miskin di Tujuh Wilayah Penelitian, 2007 – 2008
[2]
Roy Tijong dalam Woman Research
Institute Akses Pemanfaatan Fasilitas Pelayanan Kesehatan Reproduksi
bagi Perempuan Miskin di Tujuh Wilayah Penelitian, 2007 – 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar