Minggu, 27 Mei 2012

La Volonte de Savoir Historie de Sexialite: Ingin Tahu Sejarah Seksualitas (Michel Foucault)


Sebuah Resensi oleh: Rahayuningtyas (14 Maret 2012)
Abad ke-17 konon dijelaskan bahwa segala hal berkaitan dengan seks dapat dibahas dengan bebas. Semua orang bisa mendiskusikan seksualitas kapanpun, dimanapun, dan dengan siapapun. Namun sejak muncul kaum Victorian (ratu angkuh) gambaran borjuis Inggris, semua hal tentang seks beralih menjadi kebungkaman, diam, represif (menahan diri) dan sepakat untuk tidak membicarakannya. Siapapun yang membahasnya secara terang-terangan seolah-oleh menjadi tersangka yang melanggar hukum. Andaipun seksualitas boleh dibahas terang-terangan itu pasti karena berkaitan atau dikait-kaitkan dengan komoditas dan nilai ekonomi yang tinggi, misalnya di rumah pelacuran dan rumah sakit jiwa. Hanya pelacur, pelanggan, dan mucikari yang bisa membahas secara terang-terangan, atau hanya psikiater dan pasien rumah sakit jiwa yang dapat membahas seks tanpa batasan.
Saat ini wacana seksualitas menjadi semakin simpang-siur terbukti dengan pendefinisian seksualitas yang banyak dipengaruhi nilai-nilai tradisi/budaya, agama, bahkan politik. Hal ini membuat penulis tertarik untuk menelusuri sejarah seksualitas dengan segala bentuk tranformasinya. Buku karangan Michele Foucault berjudul “La Volonte de Savoir : Ingin Tahu Sejarah Seksualitas” nampaknya dapat menjawab kebutuhan penulis. Pada Buku ini, Foucault mengungkapkan analisisnya dalam mencari hal-hal yang berkaitan dengan berbagai wacana seksualitas (termasuk wacana bungkam) dengan kekuasaan (termasuk kesalahan dan kekeliruan yang disebarkan oleh pengetahuan).
Terkhusus di buku ini, Foucault berasumsi bahwa kuasa tidak selulu bersifat negatif dan represif tapi juga beroperasi secara positif dan produktif. Baginya, kuasa secara berkesinambungan melahirkan pengetahuan dan pengetahuan juga terus menerus menghadirkan efek-efek kuasa. Pendapat Foucault ini bertentangan dengan kebanyakan teori modern yang menganggap pengetahuan sebagai sesuatu yang netral dan objektif (aliran positivis) atau emansipatoris (Marxian). Dengan memaksudkan buku ini sebagai “kritik bagi era modern”, Foucault ingin menunjukan sejumlah produk pengetahuan modern yang terkesan wajar padahal sangat bergantung pada kuasa. Kuasa menurut Foucault tidak selulu didominasi struktur makro atau kelas tertentu, seperti diyakini pemikir semacam Weber dan Marx.
Resume buku ini akan disampaikan dalam 3 bagian. Pertama, Hipotesis Repsesi yang berisi bahasan tentang rangsangan wacana seksualitas hingga munculnya penyimpangan seksual. Kedua, Sistem Seksualitas yang berisi scientia sexualis, perbedaan pandangan Barat dan Timur tentang seksualitas serta sistem seksual itu sendiri. Ketiga, Hak Menentukan Ajal dan Menguasai Hidup, berisi tentang perbedaan pandangan dahulu dan sekarang.
Hipotesis Represi
Tidak seperti awalnya yang dapat dilakukan secara terang-terangan, pembahasan seksualitas memasuki masa represi dengan pembatasan bahasa dan menjadikannya sebagai hal tabu sejak kemunculan kaum borjuis. Seksualitas boleh dibicarakan namun dengan menggunakan alias dalam menyebutkan alat reproduksi dan adanya aturan tentang dengan siapa, dimana, dan dengan kasta apa kita membahas. Evolusi Pastoral Katolik juga ikut mengadopsi sikap represif terhadap seksualitas. Pengakuan dosa (terkait seksualitas) yang sebelumnya harus dijelaskan secara detail untuk menentukan tingkat nafsu pendosa, berubah menjadi proses yang singkat dan padat. Selain karena dianggap tabu, membicarakan masalah tersebut dianggap hanya membicarakan dosa yang sebaiknya tidak dibahas berpanjang-panjang.
Di akhir abad ke-19, muncul seorang penulis buku My Secret Life yang ditulis oleh seorang yang menjalankan sebagian masa hidupnya untuk melakukan aktivitas seksual. Ia menjelaskan secara rinci setiap proses kegiatan seksualnya untuk memberikan pendidikan dan pengetahuan bagi pembacanya. Sayangnya, dalam tulisannya yang dianggap berani melawan “victorianisme“ ternyata ia banyak menggunakan kata “maaf” karena menganggap apa yang ada dalam bukunya adalah hal yang tabu.
Seiring berjalannya waktu ditemukan beberapa hal yang menjadi rangsangan munculnya wacana seksualitas. Seperti halnya di Abad 18, muncul masalah penambahan jumlah penduduk yang erat kaitannya dengan seks. Untuk menekan penambahan jumlah penduduk, pemerintah melalui kekuasaannya mengatur agar masyarakat menggunakan seksualitas hanya sebatas mencari kesenangan dan kepuasan hidup saja bukan untuk mendapatkan keturunan. Foucault menyimpulkan bahwa intervensi kekuasaan ke dalam seksualitas terjadi melalui politik populasi yang meregulasi kelahiran. Di bidang kedokteran umum, seksualitas mulai dibahas terkait dengan masalah syaraf, psikiatri, bahkan penyakit “overseks” yang dianggap sebagai kelainan jiwa. Peradilan pidana juga mulai menyidangkan kasus-kasus pelanggaran seksual, bahkan di abad 19 mereka mulai menyidangkan perbuatan tak senonoh di depan umum, kekurangajaran, dan lain-lain sehingga mereka berpikir untuk meningkatkan kontrol sosial. Tanpa disadari hal-hal di atas menimbulkan dorongan wacana seksualitas yang awalnya direpresikan, justru semakin banyak diperbincangkan masyarakat.
Banyaknya wacana seksualitas memunculkan pandangan seks normal dan abnormal yang menyimpang. Seksualitas masih terbatas pada pandangan monogami suami istri. Para pelaku sodomi, onani, nekrofilia, homoseksual, masokis, sadistis ditetapkan sebagai orang berperilaku menyimpang. Pandangan ini sesungguhnya diciptakan oleh pemilik kuasa. Contohnya, dalam pengakuan dosa Agama Kristen, psikiater sebagai pendengar adalah pihak yang memiliki kuasa, ia bebas menentukan apa yang dianggap normal dan apa yang dipandang sebagai patologis (penyakit/kelainan). Menurut Foucault, kekuasaan bukan digunakan untuk mengekang, melarang, dan memberi hukuman melainkan mengendalikan berbagai bentuk penyimpangan yang ada di masyarakat.
Homoseksualitas muncul sebagai bentuk baru dari sodomi yang sebelumnya, baik oleh hukum maupun agama, dianggap sebagai sebuah penyimpangan. Seksualitas yang pada abad 19 dipercaya hanya milik pasangan heteroseksual ternyata memiliki bentuk lain seperti homoseksual, bertukar pasangan, dan masturbasi yang dilakukan seorang diri. Hal ini membuat kaum Victorian merasa perlu membuat batasan baru untuk menjaga moralitas masyarakat.
 Sistem Seksualitas
Perbedaan pandangan antara masyarakat Barat dan Timur sudah terjadi sejak berabad lalu, termasuk dalam hal seksualitas. Landasan seksualitas masyarakat Barat adalah pengakuan yaitu dorongan untuk membicarakannya. Ada fiksasi untuk mendapatkan “kebenaran” tentang seksualitas, sekan-akan seksualitas itu tidak ada bila tidak diungkapkan. Cara pandang ini bertentangan dengan masyarakat Timur yang menganggap seksualitas sebagai seni dan pengalaman khusus yang bila dibicarakan akan kehilangan keefektivitasannya. Oleh Foucault cara masyarakat Barat ini disebut sebagai scientia sexualis – pengetahuan tentang seks, sedangkan cara masyarakat Timur disebut ars erotica – seni kenikmatan.
Sejak dulu pengakuan dianggap sakral dalam Agama Kristen namun pergeseran mulai terjadi ketika  abad 18 muncul Protestanisme dan abad 19 muncul kedokteran. Menyebarnya wacana baru seksualitas mulai terkumpul dalam arsip tentang kenikmatan dan penyimpangan seksual. Beberapa cara mengubah sistem paksaan tentang pengakuan menjadi catatan ilmiah, yaitu:
1.   Menjadikan “menyuruh bicara” sebagai prosedur baku. Wajar jika dilakukan beberapa cara seperti interogasi, mengisahkan pengalaman, kuesione, hypnosis, dan lain-lain.
2.   Ilmu kedokteran menjadikan seksualitas sebagai penyebab munculnya berbagai penyakit termasuk penyakit paru-paru sehingga membuat mereka menuliskannya sebagai temuan.
3.   Menganggap seksualitas sebagai sesuatu yang bersifat laten. Dengan demikian, pengakuan seksualitas akan muncul tanpa paksaan meskipun masih dengan cara sedikit demi sedikit.
4.   Interpretasi. Ilmuan harus mengumpulkan data-data yang tercecer untuk menilai kebenaran dan menarik kesimpulan untuk kemudian menyebarluaskan nilai kebenaran tersebut.
5.   Medikalisasi dampak pengakuan. Wacana bahwa seksualitas menyimpang menyebabkan berbagai penyakit terbukti dilakukan hanya untuk menjaga ketabuan seksualitas di masyarakat. Wacana ini bisa diluruskan kembali jika pihak medis yang menjelaskannya karena merekalah yang bertanggung jawab terhadap pandangan keliru ini.
Beberapa abad terakhir muncul pertanyaan-pertanyaan terkait seksualitas yang menjadi awal dilakukannya penelitian seputar seksualitas. Foucault bahkan menegaskan bahwa dalam menentukan pertanyaan penelitian harus melepaskan segala bentuk represi. Represi  yang dimaksud, hadir sebagai akibat adanya kekuasaan. Tidak dapat dipungkiri seks memiliki hubungan erat dengan kekuasaan. Berikut ini beberapa ciri pokoknya, yaitu:
1.   Hubungan negatif. Kekuasaan dan seks saling meniadakan dimana kekuasaan berusaha memisahkan seksualitas dalam kehidupan. Sebaliknya seksualitas membungkam kekuasaan dengan kenikmatan sehingga kekuasaan tidak mampu berbuat apa pun kecuali menolaknya.
2.   Lembaga aturan. Seks ditentukan oleh kekuasaan: pertama, seks dilihat dalam sistem biner (halal-haram, boleh-terlarang); kedua, seks diberi batasan hukum; ketiga, seks diwujudkan melalui bahasa (lebih tepatnya wacana) sehingga seks disebut bersifat yuridis-kewacanaan.
3.   Siklus larangan. Kekuasaan menggunakan hukum larangan agar seks menyangkal dirinya sendiri. Caranya dengan membuat larangan dan ancaman bagi yang melanggarnya.
4.   Logika sensor. Logika kekuasaan atas seks merupakan logika paradoksal dari suatu hukum yang dapat diujarkan sebagai perintah untuk tidak hadir, tidak berwujud dan bungkam.
5.   Kesatuan perangkat. Kekuasaan atas seks seolah dibuat menyeluruh. Penerapannya bukan hanya dilakukan oleh negara (raja) tapi sampai ke rumah (ayah). Kekuasaan menjadi subjek pembuat aturan sedangkan yang lain (rakyat, anak) sebagai subjek patuh.
Dalam konteks negara, kekuasaan bukan hanya milik raja tetapi juga milik rakyat yang seharusnya disamaratakan sehingga sistem dapat berjalan dengan baik. Foucault berpendapat perlu membalik rumusan kekuasaan tersebut agar sesuai (atau mendekati) dengan sebagaimana mestinya. Beberapa proposisi (rancangan usulan) yang dapat dikemukakan, antara lain dengan mengungkapkan bahwa kekuasaan bukan sesuatu yang diperoleh, dirampas dan dibagi melainkan berfungsi berdasarkan unsur yang tak terhitung jumlahnya dalam hubungan yang tak sederajat dan bergerak. Kekuasaan dianggap sama seperti hubungan lainnya, seperti perdagangan, pertemanan, yaitu sejajar dan saling menguatkan sehingga tidak ada bentuk oposisi biner antara pendominasi dan yang didominasi.
Melihat kekuasaan yang sering disalah-artikan, kita harus mampu meluruskan definisi kekuasaan tersebut dalam konteks seksualitas. Ada 4 kaidah yang harus diperhatikan, yaitu:
a.    Imanensi. Pahami bahwa seksualitas merupakan bagian yang tak terpisahkan dengan kehidupan manusia sehingga mustahil membuat hukum yang membatasinya.
b.   Perubahan berkelanjutan. Akan lebih baik jika mulai mencari formula yang tepat untuk modifikasi bentuk kekuasaan terhadap seksualitas.
c.    Kaidah pengkondisian ganda. Kekeliruan kondisi kekuasaan terhadap seksualitas membutuhkan pengkondisian ganda. Ayah bukanlah perwakilan raja yang melarang anak-anaknya dan raja bukanlah penguasa dan pembuat hukum atau larangan untuk masyarakatnya.
d.   Taktik polivalen dalam berbagai wacana. Wacana seksualitas tidak bisa dikelompokkan antara wacana yang diterima dan yang ditolak atau di antara wacana yang mendominasi dan yang didominasi tetapi bayangkan wacana sebagai unsur-unsur nalar dengan beragam strategi.
Seksualitas bukanlah bentuk perlawanan terhadap kekuasaan dan jangan pula berusaha menundukan seksualitas karena sewajarnya ia ada dan terus ada. Seksualitas lebih menyerupai saluran yang padat bagi hubungan kekuasaan, orang tua dan anak, guru dan murid, dokter dan pasien. Sejak abad 18 ada empat strategi besar yang berkaitan dengan pengembangan seksualitas terhadap kekuasaan.
1.   Histerisasi tubuh perempuan. Tubuh perempuan dianalisis dan diintegrasikan dalam sistem medis sebagai suatu patologi, kemudian dihubungkan secara organis dengan tubuh sosial. Dari strategi inilah jenis kelamin ditentukan nilai fungsionalnya secara biologis dan sosial. Ironisnya sasaran untuk menjadi korban dari strategis ini selalu perempuan.
2.   Pedagogisasi seks anak-anak. Terdapat asumsi bahwa anak-anak potensial untuk melakukan kegiatan seksual. Hal ini dianggap berbahaya karena dikhawatirkan dapat mendatangkan kerusakan fisik dan moral, kolektif dan individual. Pedagogisasi muncul dalam konteks perang dunia barat terhadap onanisme anak sehingga orang tua, guru, dokter, dan psikolog mengatakan bahwa onani adalah tindakan berbahaya dan menentang alam.
3.   Sosialisasi perilaku prokreatif (kemampuan reproduksi). Strategi ini bekerja melalui kebijakan ekonomi, sosial, politik dengan menormakan monogami heteroseksual. Seksualitas semata diarahkan pada unsur prokreatifnya.
4.   Psikiatrisasi kenikmatan menyimpang. Perilaku seksual menyimpang dianggap sebagai patologi dan anomali. Klaim ini dilandasi analisis naluri biologis dan psikis bahwa perilaku seksual semacam onani, masturbasi, dan homoseksualitas dapat memperlemah tubuh dan menjadikannya rawan penyakit. Seks untuk kesenangan akan menjadi sesuatu yang dikutuk.
Sejarah seksualitas jika dipusatkan pada mekanisme represi dapat dikategorikan dalam dua periodisasi. Abad 17 adalah masa pertama pelarangan seksualitas dan pengunggulan satu-satunya seksualitas yaitu pada orang dewasa dan suami – istri. Abad ke-20 mulai muncul kelonggaran represi. Mulai muncul toleransi terhadap pelarangan seksualitas khususnya untuk hubungan di luar pernikahan dan menghilangkan sebagian besar ketabuan yang sebelumnya membebani seksualitas.
Hak Menentukan Ajal dan Menguasai Hidup
Berbicara tentang hak dalam menentukan ajal dan menguasai hidup, Foucault melihat bahwa sejak abad ke-17, kekuasaan telah mengendalikan kehidupan dalam dua bentuk yaitu politik-anatomi terhadap tubuh manusia dan bio-politik terhadap kontrol populasi. Seks menjadi tema sentral karena berkaitan langsung dengan berbagai disiplin mengenai tubuh dan sekaligus manjadi bagian dari regulasi populasi. Dengan begitu kekuasaan secara politis dan ekonomis sangat berkaitan dengan seks. Jika dulu hidup mati seseorang ada di tangan raja, kini sudah bertransformasi menjadi wujud analisis pengetahuan. Tentu saja sebagai sebuah fenomena bahwa setiap orang memiliki hak yang sama untuk menentukan ajal dan menguasai hidupnya masing-masing.
***     

Tidak ada komentar:

Posting Komentar