Sebuah Resensi oleh: Rahayuningtyas (14 Maret 2012)
Abad
ke-17 konon dijelaskan bahwa segala hal berkaitan dengan seks dapat dibahas
dengan bebas. Semua orang bisa mendiskusikan seksualitas kapanpun, dimanapun,
dan dengan siapapun. Namun sejak muncul kaum Victorian (ratu angkuh) gambaran
borjuis Inggris, semua hal tentang seks beralih menjadi kebungkaman, diam, represif
(menahan diri) dan sepakat untuk tidak membicarakannya. Siapapun yang
membahasnya secara terang-terangan seolah-oleh menjadi tersangka yang melanggar
hukum. Andaipun seksualitas boleh dibahas terang-terangan itu pasti karena
berkaitan atau dikait-kaitkan dengan komoditas dan nilai ekonomi yang tinggi,
misalnya di rumah pelacuran dan rumah sakit jiwa. Hanya pelacur, pelanggan, dan
mucikari yang bisa membahas secara terang-terangan, atau hanya psikiater dan
pasien rumah sakit jiwa yang dapat membahas seks tanpa batasan.
Saat
ini wacana seksualitas menjadi semakin simpang-siur terbukti dengan pendefinisian
seksualitas yang banyak dipengaruhi nilai-nilai tradisi/budaya, agama, bahkan
politik. Hal ini membuat penulis tertarik untuk menelusuri sejarah seksualitas
dengan segala bentuk tranformasinya. Buku karangan Michele Foucault berjudul “La Volonte de Savoir : Ingin Tahu
Sejarah Seksualitas” nampaknya dapat menjawab kebutuhan penulis. Pada Buku ini,
Foucault mengungkapkan analisisnya dalam mencari hal-hal yang berkaitan dengan
berbagai wacana seksualitas (termasuk wacana bungkam) dengan kekuasaan
(termasuk kesalahan dan kekeliruan yang disebarkan oleh pengetahuan).
Terkhusus
di buku ini, Foucault berasumsi bahwa kuasa tidak selulu bersifat negatif dan
represif tapi juga beroperasi secara positif dan produktif. Baginya, kuasa
secara berkesinambungan melahirkan pengetahuan dan pengetahuan juga terus
menerus menghadirkan efek-efek kuasa. Pendapat Foucault ini bertentangan dengan
kebanyakan teori modern yang menganggap pengetahuan sebagai sesuatu yang netral
dan objektif (aliran positivis) atau emansipatoris (Marxian). Dengan
memaksudkan buku ini sebagai “kritik bagi era modern”, Foucault ingin
menunjukan sejumlah produk pengetahuan modern yang terkesan wajar padahal
sangat bergantung pada kuasa. Kuasa menurut Foucault tidak selulu didominasi
struktur makro atau kelas tertentu, seperti diyakini pemikir semacam Weber dan
Marx.
Resume
buku ini akan disampaikan dalam 3 bagian. Pertama, Hipotesis Repsesi yang
berisi bahasan tentang rangsangan wacana seksualitas hingga munculnya
penyimpangan seksual. Kedua, Sistem Seksualitas yang berisi scientia sexualis, perbedaan pandangan Barat
dan Timur tentang seksualitas serta sistem seksual itu sendiri. Ketiga, Hak Menentukan Ajal dan Menguasai Hidup,
berisi tentang perbedaan pandangan dahulu dan sekarang.
Hipotesis Represi
Tidak
seperti awalnya yang dapat dilakukan secara terang-terangan, pembahasan seksualitas
memasuki masa represi dengan pembatasan bahasa dan menjadikannya sebagai hal
tabu sejak kemunculan kaum borjuis. Seksualitas boleh dibicarakan namun dengan
menggunakan alias dalam menyebutkan alat reproduksi dan adanya aturan tentang
dengan siapa, dimana, dan dengan kasta apa kita membahas. Evolusi Pastoral
Katolik juga ikut mengadopsi sikap represif terhadap seksualitas. Pengakuan
dosa (terkait seksualitas) yang sebelumnya harus dijelaskan secara detail untuk
menentukan tingkat nafsu pendosa, berubah menjadi proses yang singkat dan
padat. Selain karena dianggap tabu, membicarakan masalah tersebut dianggap
hanya membicarakan dosa yang sebaiknya tidak dibahas berpanjang-panjang.
Di
akhir abad ke-19, muncul seorang penulis buku My Secret Life yang ditulis oleh
seorang yang menjalankan sebagian masa hidupnya untuk melakukan aktivitas
seksual. Ia menjelaskan secara rinci setiap proses kegiatan seksualnya untuk
memberikan pendidikan dan pengetahuan bagi pembacanya. Sayangnya, dalam
tulisannya yang dianggap berani melawan “victorianisme“ ternyata ia banyak
menggunakan kata “maaf” karena menganggap apa yang ada dalam bukunya adalah hal
yang tabu.
Seiring
berjalannya waktu ditemukan beberapa hal yang menjadi rangsangan munculnya wacana
seksualitas. Seperti halnya di Abad 18, muncul masalah penambahan jumlah
penduduk yang erat kaitannya dengan seks. Untuk menekan penambahan jumlah
penduduk, pemerintah melalui kekuasaannya mengatur agar masyarakat menggunakan
seksualitas hanya sebatas mencari kesenangan dan kepuasan hidup saja bukan
untuk mendapatkan keturunan. Foucault menyimpulkan bahwa intervensi kekuasaan
ke dalam seksualitas terjadi melalui politik populasi yang meregulasi
kelahiran. Di bidang kedokteran umum, seksualitas mulai dibahas terkait dengan
masalah syaraf, psikiatri, bahkan penyakit “overseks” yang dianggap sebagai
kelainan jiwa. Peradilan pidana juga mulai menyidangkan kasus-kasus pelanggaran
seksual, bahkan di abad 19 mereka mulai menyidangkan perbuatan tak senonoh di
depan umum, kekurangajaran, dan lain-lain sehingga mereka berpikir untuk
meningkatkan kontrol sosial. Tanpa disadari hal-hal di atas menimbulkan
dorongan wacana seksualitas yang awalnya direpresikan, justru semakin banyak diperbincangkan masyarakat.
Banyaknya wacana seksualitas
memunculkan pandangan seks normal dan abnormal yang menyimpang. Seksualitas
masih terbatas pada pandangan monogami suami istri. Para pelaku sodomi, onani,
nekrofilia, homoseksual, masokis, sadistis ditetapkan sebagai orang berperilaku
menyimpang. Pandangan ini sesungguhnya diciptakan oleh pemilik kuasa. Contohnya,
dalam pengakuan dosa Agama Kristen, psikiater sebagai pendengar adalah pihak
yang memiliki kuasa, ia bebas menentukan apa yang dianggap normal dan apa yang
dipandang sebagai patologis (penyakit/kelainan). Menurut Foucault, kekuasaan bukan digunakan
untuk mengekang, melarang, dan memberi hukuman melainkan mengendalikan berbagai
bentuk penyimpangan yang ada di masyarakat.
Homoseksualitas muncul
sebagai bentuk baru dari sodomi yang sebelumnya, baik oleh hukum maupun agama, dianggap
sebagai sebuah penyimpangan. Seksualitas yang pada abad 19 dipercaya hanya
milik pasangan heteroseksual ternyata memiliki bentuk lain seperti homoseksual,
bertukar pasangan, dan masturbasi yang dilakukan seorang diri. Hal ini membuat
kaum Victorian merasa perlu membuat batasan baru untuk menjaga moralitas
masyarakat.
Sistem Seksualitas
Perbedaan
pandangan antara masyarakat Barat dan Timur sudah terjadi sejak berabad lalu,
termasuk dalam hal seksualitas. Landasan seksualitas masyarakat Barat adalah
pengakuan yaitu dorongan untuk membicarakannya. Ada fiksasi untuk mendapatkan
“kebenaran” tentang seksualitas, sekan-akan seksualitas itu tidak ada bila
tidak diungkapkan. Cara pandang ini bertentangan dengan masyarakat Timur yang
menganggap seksualitas sebagai seni dan pengalaman khusus yang bila dibicarakan
akan kehilangan keefektivitasannya.
Oleh Foucault cara masyarakat Barat ini disebut sebagai scientia sexualis – pengetahuan tentang seks, sedangkan cara
masyarakat Timur disebut ars erotica – seni
kenikmatan.
Sejak
dulu pengakuan dianggap sakral dalam Agama Kristen namun pergeseran mulai
terjadi ketika abad 18 muncul
Protestanisme dan abad 19 muncul kedokteran. Menyebarnya wacana baru
seksualitas mulai terkumpul dalam arsip tentang kenikmatan dan penyimpangan
seksual. Beberapa cara mengubah sistem paksaan tentang pengakuan menjadi
catatan ilmiah, yaitu:
1. Menjadikan
“menyuruh bicara” sebagai prosedur baku. Wajar jika dilakukan beberapa cara
seperti interogasi, mengisahkan pengalaman, kuesione, hypnosis, dan lain-lain.
2. Ilmu
kedokteran menjadikan seksualitas sebagai penyebab munculnya berbagai penyakit
termasuk penyakit paru-paru sehingga membuat mereka menuliskannya sebagai
temuan.
3. Menganggap
seksualitas sebagai sesuatu yang bersifat laten. Dengan demikian, pengakuan
seksualitas akan muncul tanpa paksaan meskipun masih dengan cara sedikit demi
sedikit.
4. Interpretasi.
Ilmuan harus mengumpulkan data-data yang tercecer untuk menilai kebenaran dan
menarik kesimpulan untuk kemudian menyebarluaskan nilai kebenaran tersebut.
5. Medikalisasi
dampak pengakuan. Wacana bahwa seksualitas menyimpang menyebabkan berbagai
penyakit terbukti dilakukan hanya untuk menjaga ketabuan seksualitas di
masyarakat. Wacana ini bisa diluruskan kembali jika pihak medis yang
menjelaskannya karena merekalah yang bertanggung jawab terhadap pandangan
keliru ini.
Beberapa
abad terakhir muncul pertanyaan-pertanyaan terkait seksualitas yang menjadi
awal dilakukannya penelitian seputar seksualitas. Foucault bahkan menegaskan bahwa dalam
menentukan pertanyaan penelitian harus melepaskan segala bentuk represi. Represi
yang dimaksud, hadir sebagai akibat
adanya kekuasaan. Tidak dapat dipungkiri seks memiliki hubungan erat dengan
kekuasaan. Berikut ini beberapa ciri pokoknya, yaitu:
1.
Hubungan
negatif. Kekuasaan dan seks saling meniadakan dimana kekuasaan berusaha
memisahkan seksualitas dalam kehidupan. Sebaliknya seksualitas membungkam
kekuasaan dengan kenikmatan sehingga kekuasaan tidak mampu berbuat apa pun
kecuali menolaknya.
2.
Lembaga
aturan. Seks ditentukan oleh kekuasaan: pertama, seks dilihat dalam sistem
biner (halal-haram, boleh-terlarang); kedua, seks diberi batasan hukum; ketiga,
seks diwujudkan melalui bahasa (lebih tepatnya wacana) sehingga seks disebut
bersifat yuridis-kewacanaan.
3.
Siklus
larangan. Kekuasaan menggunakan hukum larangan agar seks menyangkal dirinya
sendiri. Caranya dengan membuat larangan dan ancaman bagi yang melanggarnya.
4.
Logika
sensor. Logika kekuasaan atas seks merupakan logika paradoksal dari suatu hukum
yang dapat diujarkan sebagai perintah untuk tidak hadir, tidak berwujud dan
bungkam.
5.
Kesatuan
perangkat. Kekuasaan atas seks seolah dibuat menyeluruh. Penerapannya bukan
hanya dilakukan oleh negara (raja) tapi sampai ke rumah (ayah). Kekuasaan
menjadi subjek pembuat aturan sedangkan yang lain (rakyat, anak) sebagai subjek
patuh.
Dalam konteks negara, kekuasaan bukan
hanya milik raja tetapi juga milik rakyat yang seharusnya disamaratakan
sehingga sistem dapat berjalan dengan baik. Foucault berpendapat perlu membalik
rumusan kekuasaan tersebut agar sesuai (atau mendekati) dengan sebagaimana
mestinya. Beberapa proposisi (rancangan usulan) yang dapat dikemukakan, antara
lain dengan mengungkapkan bahwa kekuasaan bukan sesuatu yang diperoleh,
dirampas dan dibagi melainkan berfungsi berdasarkan unsur yang tak terhitung
jumlahnya dalam hubungan yang tak sederajat dan bergerak. Kekuasaan dianggap
sama seperti hubungan lainnya, seperti perdagangan, pertemanan, yaitu sejajar
dan saling menguatkan sehingga tidak ada bentuk oposisi biner antara
pendominasi dan yang didominasi.
Melihat kekuasaan yang sering
disalah-artikan, kita harus mampu meluruskan definisi kekuasaan tersebut dalam
konteks seksualitas. Ada 4 kaidah yang harus diperhatikan, yaitu:
a.
Imanensi.
Pahami bahwa seksualitas merupakan bagian yang tak terpisahkan dengan kehidupan
manusia sehingga mustahil membuat hukum yang membatasinya.
b.
Perubahan
berkelanjutan. Akan lebih baik jika mulai mencari formula yang tepat untuk
modifikasi bentuk kekuasaan terhadap seksualitas.
c.
Kaidah
pengkondisian ganda. Kekeliruan kondisi kekuasaan terhadap seksualitas
membutuhkan pengkondisian ganda. Ayah bukanlah perwakilan raja yang melarang
anak-anaknya dan raja bukanlah penguasa dan pembuat hukum atau larangan untuk
masyarakatnya.
d.
Taktik
polivalen dalam berbagai wacana. Wacana seksualitas tidak bisa dikelompokkan
antara wacana yang diterima dan yang ditolak atau di antara wacana yang mendominasi
dan yang didominasi tetapi bayangkan wacana sebagai unsur-unsur nalar dengan beragam
strategi.
Seksualitas bukanlah bentuk perlawanan
terhadap kekuasaan dan jangan pula berusaha menundukan seksualitas karena
sewajarnya ia ada dan terus ada. Seksualitas lebih menyerupai saluran yang
padat bagi hubungan kekuasaan, orang tua dan anak, guru dan murid, dokter dan
pasien. Sejak abad 18 ada empat strategi besar yang berkaitan dengan
pengembangan seksualitas terhadap kekuasaan.
1.
Histerisasi
tubuh perempuan. Tubuh perempuan dianalisis dan diintegrasikan dalam sistem
medis sebagai suatu patologi, kemudian dihubungkan secara organis dengan tubuh
sosial. Dari strategi inilah jenis kelamin ditentukan nilai fungsionalnya
secara biologis dan sosial. Ironisnya sasaran untuk menjadi korban dari
strategis ini selalu perempuan.
2.
Pedagogisasi
seks anak-anak. Terdapat asumsi bahwa anak-anak potensial untuk melakukan
kegiatan seksual. Hal ini dianggap berbahaya karena dikhawatirkan dapat
mendatangkan kerusakan fisik dan moral, kolektif dan individual. Pedagogisasi
muncul dalam konteks perang dunia barat terhadap onanisme anak sehingga orang tua,
guru, dokter, dan psikolog mengatakan bahwa onani adalah tindakan berbahaya dan
menentang alam.
3.
Sosialisasi
perilaku prokreatif (kemampuan reproduksi). Strategi ini bekerja melalui kebijakan
ekonomi, sosial, politik dengan menormakan monogami heteroseksual. Seksualitas
semata diarahkan pada unsur prokreatifnya.
4.
Psikiatrisasi
kenikmatan menyimpang. Perilaku seksual menyimpang dianggap sebagai patologi
dan anomali. Klaim ini dilandasi analisis naluri biologis dan psikis bahwa
perilaku seksual semacam onani, masturbasi, dan homoseksualitas dapat
memperlemah tubuh dan menjadikannya rawan penyakit. Seks untuk kesenangan akan
menjadi sesuatu yang dikutuk.
Sejarah seksualitas jika dipusatkan
pada mekanisme represi dapat dikategorikan dalam dua periodisasi. Abad 17
adalah masa pertama pelarangan seksualitas dan pengunggulan satu-satunya
seksualitas yaitu pada orang dewasa dan suami – istri. Abad ke-20 mulai muncul kelonggaran
represi. Mulai muncul toleransi terhadap pelarangan seksualitas khususnya untuk
hubungan di luar pernikahan dan menghilangkan sebagian besar ketabuan yang
sebelumnya membebani seksualitas.
Hak Menentukan Ajal dan Menguasai Hidup
Berbicara tentang hak dalam menentukan
ajal dan menguasai hidup, Foucault melihat bahwa sejak abad ke-17, kekuasaan
telah mengendalikan kehidupan dalam dua bentuk yaitu politik-anatomi terhadap
tubuh manusia dan bio-politik terhadap kontrol populasi. Seks menjadi tema
sentral karena berkaitan langsung dengan berbagai disiplin mengenai tubuh dan
sekaligus manjadi bagian dari regulasi populasi. Dengan begitu kekuasaan secara
politis dan ekonomis sangat berkaitan dengan seks. Jika dulu hidup mati
seseorang ada di tangan raja, kini sudah bertransformasi menjadi wujud analisis
pengetahuan. Tentu saja sebagai sebuah fenomena bahwa setiap orang memiliki hak
yang sama untuk menentukan ajal dan menguasai hidupnya masing-masing.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar