Rabu, 02 Mei 2012

Angka Kematian Ibu Tetap Tinggi di Indonesia



Terjadi perbedaan pencatatan Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia antara Bapperan (310 untuk tahun 2000-2007), UNICEF dan UNFPA (420 tahun 2005). Walaupun Bappenas menyatakan Aki di Indonesia terus menurun sejak 2002 sampai 2008, Bappenas menyatakan Indonesia sulit mencapay target MDGs menurunkan AKI di tahun 2015 sebesar 102.
Pemerintah Indonesia memang telah mengesahkan AKI yang dikeluarkan oleh Bappenas, kalangan LSM cenderung mempercayai lembaga internasional yang menggunakan metode yang berlaku secara internasional.
Berdasarkan hasil SDKI tahun 2008 menunjukan penyebab tertinggi Aki di Indonesia adalah pendarahan (28%) dan eklamsia (24%). Terdapat tiga jenis keterlambatan yang menyebabkan kematian ibu, yaitu :
1.      Terlambat mengenali tanda bahaya dan membuat keputusan
2.      Telambat emcapai fasilitas kesehatan
3.      Terlambat menerima pelayanan di fasilitas kesehatan
Berdasarkan hasil penelitain yang dilakukan oleh WRI di 7 Kabupaten/Kota  menunjukkan bahwa perempuan yang hidup di lingkungan miskin cenderung memilih dukun beranak sebagai penolong persalinan. Padahal persalinan dibantu oleh dukun memiliki banyak kekurangan diantaranya kekurangan air bersih, listrik untuk penerangan, tempat dan alat steril, dan obat-obatan. Namun demikian dukun beranak tetap menjadi pilihan ibu-ibu melahirkan dibandingkan oleh tenaga kesehatan seperti bidan atau dokter. Hal ini disebabkan oleh beberapa factor, diantaranya:
1.      Kekurangan biaya. Bersalin dengan bidan membutuhkan biaya lebih mahal daripada dukun
2.      Pelayanan yang ditawarkan bidan tidak selengkap dukun. Dukun memberikan perawatan ibu hamil sejak sebelum melahirkan, saat melahirkan, hingga setelah melahirkan. Bahkan dukun ikut membantu merawat bayi baru lahir dan keluarga di ibu yang melahirkan.
3.      Dukun bayi dianggap memiliki kekuatan spiritual. Hal ini menyebabkan munculnya sugesti positif dan rasa tenang pada diri ibu yang melahirkan.
4.      Hambatan budaya yang dihadapi oleh perempuan daerah pedesaan. Beberapa daerah menganggap perempuan sebagai kaum marjinal dan bukan menjadi prioritas.
5.      Perempuan tidak memiliki hak atas tubuhnya sendiri sehingga keputusan tempat melahirkan tidak diambil oleh ibu, melainkan oleh suami dan keluarga.
Selain berbagai alasan di atas, kebijakan pemerintah juga memegang peranan sangat penting dalam pembuatan kebijakan untuk menurunkan AKI di Indonesia. Seperti yang diungkapkan IBI bahwa jumlah bidan din Indonesia mencapai 83.000 bidan yang artinya dapat memenuhi kebutuhan desa di Indonesia yang berjumlah 71.000 desa. Hal tersebut masih menjadi kendala karena bidan cenderung terpusat di sekitar Puskesmas dan RSUD yang menyebabkan sulitnya masyarakat mengakses pelayanan kesehatan oleh bidan.
Upaya pemerintah yang kurang serius dalam penurunan AKI juga terlihat dalam kebijakan Gerakan Sayang Ibu (GSI). Kebijakan ini dibuat untuk meningkatkan pelayanan kesehatan ibu hamil di fasilitas kesehatan di seluruh desa di Indonesia. Sayangnya kebijakan ini tidak didukung dengan upaya mengatasi kendala yang dimiliki ibu hamil seperti keterbatasan ekonomi, transportasi dan akses jalan yang rusak. Hal ini dapat dibuktikan dengan sedikitnya anggaran pemerintah daerah untuk sector kesehatan, hanya kurang dari 10% dari APBD. 
Di beberapa daerah seperti Lombok Tengah dan Indramayu dapat mensiasati kecenderungan masyarakat untuk melahirkan di duku bayi, yaitu dengan membuat kebijakan bidan dan dukun bayi bermitra untuk menolong persalinan ibu. Hal ini terbukti dapat menurunkan penggunaan dukun bayi sebagai penolong persalinan hingga di bawah 20%. Kebijakan ini sebenarnya dapat ditiru oleh daerah lain untuk membantu menurunkan AKI, sayangnya pemerintah pusat lagi-lagi tidak menggunakan kewenangannya untuk menjadi kebijakan ini sebagai standar nasional sehingga pemerintah daerah bebas memilih untuk membuat kebijakan pro penurunan AKI atau tidak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar