Dari
semua target MDGs, kinerja penurunan angka kematian ibu secara global masih
rendah. Di Indonesia, Angka Kematian Ibu (AKI/MMR (Maternal Mortality Rate))
menurun dari 390 pada tahun 1991 menjadi 228 per 100.000 kelahiran hidup pada
tahun 2007. Target pencapaian MDG pada tahun 2015 adalah sebesar 102 per
100.000 kelahiran hidup, sehingga diperlukan kerja keras untuk mencapai target
tersebut. Walaupun pelayanan antenatal dan pertolongan persalinan oleh tenaga
kesehatan terlah cukup tinggi, beberapa faktor seperti risiko tinggi pada saat
kehamilan dan aborsi perlu mendapat perhatian.[1]
Berdasarkan angka di atas diketahui bahwa target penurunan AKI di Indonesia
bahkan belum mencapai setengah angka yang diharapkan (lihat lampiran, grafik 1:
Proyeksi Angka Kematian Ibu (AKI) 1991 – 2025).
Pertolongan
persalinan dengan bantuan tenaga kesehatan terlatih merupakan salah satu cara
yang paling efektif untuk menurunkan AKI di Indonesia. Persentase persalinan
yang ditolong oleh tenaga kesehatan terlatih meningkat dari 66,7% pada tahun
2002 menjadi 77,34 % pada tahun 2009 (Susenas). Angka tersebut terus meningkat menjadi 82,3% pada tahun 2010 (Riskesdas,
2010). Disparitas pertolongan persalinan oleh tenaga terlatih antarwilayah
masih merupakan masalah. Data Susenas tahun 2009 menunjukkan capaian tertinggi
sebesar 98,14% di DKI Jakarta sedangkan terendah sebesar 42,48% di Maluku.[2] (lihat lampiran, grafik 2: Presentase Pertolongan
Persalinan Oleh Tenaga Kesehatan 2009).
Untuk memastikan kesehatan ibu
selama kehamilan, diperlukan pelayanan antenatal (antenatal care/ANC),
hal ini juga dilakukan untuk menjamin ibu untuk melakukan persalinan di
fasiltas kesehatan. Sekitar 93% ibu hamil
memperoleh pelayanan antenatal dari tenaga kesehatan profesional selama masa
kehamilan. Terdapat 81,5% ibu hamil yang melakukan paling sedikit empat kali
kunjungan pemeriksaan selama masa kehamilan, namun baru 65,5% yang melakukan
empat kali kunjungan sesuai jadwal yang dianjurkan. (lihat lampiran, grafik 3:
Pelayanan Antenatal K1 dan K4 di Indonesia tahun 1991 – 2007).
Angka pemakaian kontrasepsi (Contraceptive
Prevalence Rate-CPR) menunjukkan peningkatan dalam 5 tahun terakhir.
Capaian CPR semua cara secara nasional meningkat dari 49,7% pada tahun 1991
menjadi 61,4% pada tahun 2007. Sementara itu, untuk CPR cara modern meningkat
dari 47,1% pada tahun 1991 menjadi 57,4 % pada tahun 2007 (SDKI). Selanjutnya,
di antara CPR cara modern, KB suntik merupakan cara yang paling banyak
digunakan (32%), diikuti pil KB sebesar 13% (SDKI, 2007).[3] (lihat lampiran, grafik 4: Kecenderungan
CPR pada Perempuan Menikah Usia 15 – 49 tahun).
Angka unmet need cenderung
bervariasi antarprovinsi, antardaerah dan antarstatus sosial-ekonomi. Unmet
need terendah terdapat di Bangka Belitung (3,2%) dan tertinggi di Maluku
(22,4%). Unmet need di perdesaan (9,2%) lebih tinggi dibandingkan di
perkotaan (8,7%). Unmet need pada perempuan dengan tingkat pendidikan
rendah lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan dengan tingkat pendidikan
tinggi (11% berbanding 8%). Hal ini mengindikasikan bahwa semakin tinggi
tingkat pendidikan dan kesejahteraan, maka akan semakin tinggi pula akses akan
informasi dan layanan keluarga berencana dan kesehatan reproduksi. Tingginya unmet
need disebabkan oleh ketakutan terhadap efek samping dan ketidaknyamanan
dalam penggunaan kontrasepsi. Sebesar 12,3% perempuan usia 15-19 tahun tidak
ingin menggunakan alat/obat kontrasepsi karena takut efek samping, 10,1 %
karena masalah kesehatan dan 3,1 % karena dilarang oleh suami.[4] (lihat lampiran, grafik 5: Unmet need Menurut
Tujuan Penggunaan per Provinsi tahun 2007).
Dari data yang dijelaskan di
atas, ternyata masih banyak ditemukan tantangan dan kendala selama proses
penurunan AKI di Indonesia.
1.
Terbatasnya akses
masyarakat terhadap fasilitas pelayanan kesehatan yang berkualitas, terutama
bagi penduduk miskin di daerah tertinggal, terpencil, perbatasan dan kepulauan
(DTPK).
2.
Terbatasnya
ketersediaan tenaga kesehatan baik dari segi jumlah, kualitas dan
persebarannya, terutama bidan.
3.
Masih
rendahnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga
kesehatan dan keselamatan ibu.
4.
Masih
rendahnya status gizi dan kesehatan ibu hamil.
5.
Masih
rendahnya angka pemakaian kontrasepsi dan tingginya unmet need.
6.
Pengukuran
AKI masih belum tepat, karena sistem pencatatan penyebab kematian ibu masih
belum adekuat
Ke depan, upaya
peningkatan kesehatan ibu diprioritaskan pada perluasan pelayanan kesehatan
berkualitas, pelayanan obstetrik yang komprehensif, peningkatan pelayanan
keluarga berencana dan penyebarluasan komunikasi, informasi dan edukasi kepada
masyarakat. Penyediaan fasilitas pelayanan obstetrik neonatal emergensi
komprehensif (PONEK), pelayanan obstetrik neonatal emergensi dasar (PONED),
posyandu dan unit transfusi darah yang belum seluruhnya terjangkau oleh seluruh
penduduk harus menjadi prioritas pemerintah sebagai upaya penurunan AKI di
Indonesia. Sistem rujukan dari rumah ke puskesmas dan ke rumah sakit
juga belum berjalan optimal. Ditambah lagi, dengan kendala geografis, hambatan
transportasi, dan faktor budaya. Selain itu pemerintah juga harus merapihkan
sistem pencatatan terkait upaya penurunan AKI di Indonesia sehingga data yang
ditampilkan benar-benar menggambarkan kondisi kesehatan perempuan Indonesia
saat ini.
Mengingat pentingnya AKI
sebagai salah satu indikator pembangunan Negara, maka sudah sewajarnya
pemerintah membuat sebuah kebijakan mengenai anggaran untuk meningkatkan
kesehatan perempuan, termasuk perempuan difable, perempuan
dengan HIV/AIDS, dan perempuan yang tinggal di Daerah Terpencil Perbatasan dan
Kepulauan (DTPK). Tidak hanya menggunakan indikator angka sebagai target
tetapi juga indikator input dan proses seperti penetapan anggaran kesehatan
perempuan, pemerataan jumlah tenaga kesehatan yang terjangkau, serta pendidikan
kesehatan reproduksi untuk perempuan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar