Pada tahun
2000 disepakati sebuah deklarasi yang ditandatangani 192 negara yang menyatakan
rangkaian keamanan, Hak Asasi Manusia (HAM), termasuk berkaitan dengan
pembangunan, lingkungan, yang kemudian menelurkan 8 target Milenium
Development Goals (MDGs). Dapat dikatakan bahwa MDGs merupakan bagian yang
tidak sempurna namun tetap memberi dampak besar bagi Negara dan masyarakat dunia,
misalnya meningkatkan akses pendidikan dan kesehatan.[1] Dikatakan tidak sempurna karena dalam penyusunannya
kurang memperhatikan kebutuhan dan permasalahan yang nyata dibutuhkan dan
dirasakan masyarakat.
Berangkat dari semangat menerapkan proses
pelibatan semua pengalaman kerja untuk mengatasi permasalahan kesehatan yang
dilakukan oleh kelompok/organisasi masyarakat sipil di beberapa wilayah
Indonesia maka di buatlah tulisan berupa usulan untuk permasalahan kesehatan
yang perlu diperhatikan. Termasuk disini untuk membahas bersama apa saja yang
sudah atau belum dicapai sehubungan dengan target MDGs terkait permasalahan
kesehatan. Bilamana belum tercapai target tersebut, tulisan ini mencoba
mengidentifikasi alasan hal itu terjadi. Berkaca dari pengalaman dan
identifikasi para kelompok/organisasi masyarakat sipil mengenai permasalahan
kesehatan yang seyogyanya terpenuhi sesuai dengan target MDGs, akan diusulkan
apa yang perlu menjadi agenda kerja mengatasi permasalahan kesehatan pada Paska
2015.
Untuk hal tersebut, tulisan ini akan menggunakan
perspektif Hak Asasi Manusia (HAM) dan
gender. Perspektif HAM merujuk pada hak-hak dasar yang dimiliki
manusia yang bersifat universal. Hak asasi manusia tidak tergantung dari
pengakuan manusia lain, masyarakat lain, atau bahkan negara lain. Hak asasi
diperoleh manusia dari penciptanya, yaitu Tuhan dan merupakan hak yang tidak
dapat diabaikan. Dengan kata lain, Hak Asasi Manusia adalah hak dasar yang
dimiliki manusia sebagai anugerah Tuhan dan melekat pada diri manusia, bersifat
kodrati, universal dan abadi, berkaitan dengan harkat dan martabat manusia.
Setiap manusia diakui dan dihormati mempunyai hak asasi yang sama tanpa
membedakan jenis kelamin, warna kulit, kebangsaan, agama, usia, pandangan
politik, status sosial dan bahasa serta status lain.
Sedangkan
perspekti gender akan
membantu kita melihat secara jelas perbedaan-perbedaan serta mampu menunjukkan
hubungan antara konsep gender equity dan gender equality. Gender
equity adalah sebuah konsep yang menunjukkan adanya proses yang sama bagi
perempuan dan laki-laki serta memastikan adanya kesamaan dalam perlakuan (fairness)
terhadap perempuan dan laki-laki. Gender equality adalah sebuah konsep
yang menunjukkan bahwa perempuan dan laki-laki memiliki kondisi setara untuk
mengaktualisasikan hak-hak dan potensinya sebagai manusia agar dapat
menyumbangkan serta mendapatkan manfaat dari program-program yang tersedia
serta kebijakan-kebijakan yang ada. Gender equality merupakan bentuk
pengakuan terhadap perbedaan perempuan dan laki-laki serta menghargai peran
yang mereka lakukan. Dengan demikian, gender equity adalah strategi yang
digunakan untuk memperoleh gender equality. Gender equity adalah
sebuah cara untuk mencapai hasil dan gender equality adalah hasil yang dicapai.
Di Indonesia,
Hak Asasi Manusia (HAM) telah diatur melalui ratifikasi Duham (Deklarasi
Universal Hak asasi Manusia), Kovenan Hak Sipil dan Politik, serta Hak Ekonomi,
Sosial dan Budaya.[2] Turunannya menjadi UU No. 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia, Amandemen UUD 1945, UU tentang Hak Anak, dll. Oleh
karena itu Pemerintah Indonesia berkewajiban menegakkan semua UU ini dengan
cara menyediakan instrumen hukum serta kebijakan-kebijakan yang berprespektif
HAM. Instrumen Hukum yang berprespektif HAM akan menjamin kemerdekaan HAM, karena
ditegakkannya hak-hak Warga Negara Indonesia. Sebaliknya jika negara tidak
menyediakan intrumen hukum serta kebijakan sebagai upaya penegakan HAM, dan
jika negara melakukan pembiaran terhadap pelanggaran HAM yang tengah terjadi maka
negara telah melakukan pelanggaran HAM.
Dalam hubungannya dengan perspektif gender, Pemerintah
Indonesia telah meratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi
Terhadap Perempuan pada tahun 1984 menjadi UU no. 7 tahun 1984[3]. Pengaturan ini diperkuat lagi pada tahun
1992, melalui sidang ke-11 Komite Penghapusan Diskriminasi Terhadap Perempuan
(CEDAW) yang melahirkan Rekomendasi Umum Nomor 19 yang menyatakan ;
“Kekerasan berbasis gender adalah suatu bentuk
diskriminasi yang merupakan hambatan serius bagi kemampuan perempuan untuk
menikmati hak-hak dan kebebasannya atas dasar persamaan hak dengan laki-laki.
Rekomendasi Umum ini juga secara resmi memperluas larangan atas diskriminasi berdasarkan
gender dan merumuskan tindak kekerasan berbasis gender sebagai: tindak
kekerasan yang secara langsung ditujukan kepada perempuan karena ia berjenis
kelamin perempuan atau mempengaruhi perempuan secara proposional. Termasuk di
dalamnya tindakan yang mengakibatkan kerugian atau penderitaan fisik, mental dan
seksual, ancaman untuk melakukan tindakan-tindakan tersebut, pemaksaan dan bentuk-bentuk
perampasan hak kebebasan lainnya”.
Rekomendasi tersebut di atas menunjukkan ketimpangan
terhadap perempuan adalah sebuah pelanggaran HAM. Hal ini sesuai dengan Deklarasi
dan Program Aksi Wina[4] (Tahun 1993; Bag. 1, Ayat 18) yang menyebutkan;
“Hak Asasi Perempuan dan anak perempuan merupakan bagian yang melekat, menyatu
dan tidak terpisahkan dari hak asasi manusia yang universal. Partisipasi
perempuan sepenuhnya dan sama dalam kehidupan politik, sipil dan ekonomi,
sosial dan budaya pada tingkat nasional, regional dan international, serta
pembasmian segala bentuk diskriminasi atas dasar jenis kelamin merupakan tujuan
yang mendapat prioritas pada masyarakat internasional”.
Permasalahan
kesehatan akan dilihat dengan kerangka berpikir yang menggunakan perspektif HAM
dan gender agar bisa diperoleh gambaran yang utuh mengenai bagaimana
kondisi kesehatan dan pengaruh upaya-upaya yang telah dilakukan bagi kehidupan
masyarakat, baik laki-laki maupun perempuan di Indonesia.
Justifikasi
Kesehatan
sangat penting bagi pembangunan karena merupakan prasyarat serta indikator
sekaligus hasil sebuah capaian kemajuan dalam pembangunan sebuah Negara.
Perhatian terhadap masalah kesehatan dengan menghargai dan melindungi hak asasi
setiap warga, baik laki-laki maupun perempuan, dapat menjadi kekuatan yang
berpotensi mendorong kemajuan dalam upaya memenuhi prioritas pembangunan,
termasuk disini penyelesaian permasalahan ketimpangan gender, kesehatan,
ketahanan pangan dan ketersediaan air serta anggaran seluruh aspek kesehatan
agar dapat mencapai tujuan kesejahteraan masyarakat.
Dengan
demikian, tulisan atau ulasan mengenai kesehatan adalah perlu karena sesuai
dengan pasal 12 International Covenant on Economic, Social & Cultural
Rights (1966)[5],
kesehatan, termasuk kesehatan reproduksi dan seksualitas, sangat penting dalam
pengembangan potensi manusia serta pembangunan dan diakui sebagai hak-hak asasi
yang wajib dipenuhi. Selama masih ditemukan permasalahan yang berhubungan
dengan kesehatan, seperti belum terselenggaranya dengan baik pelayanan
kesehatan bagi masyarakat atau belum terpenuhinya bagi semua warga pengadaan
air bersih, maka pembahasan mengenai permasalahan kesehatan di Indonesia masih
sangat relevan dan beralasan kuat untuk menjadi perhatian dalam agenda Paska
2015.
[1] Heru Prasetyo,
Deputi I Pengawasan Pengendalian Inisiatif Perubahan Iklim dan Pembangunan
Berkelanjutan UKP4, disampaikan pada Seminar dan Pemutaran Film WRI, Desember
2012
[2]
http://andimuis.blogspot.com/2008/04/kegagalan-duham.html
[3] Bahan ajar tentang hak perempuan: UU no. 7 tahun 1984 Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita, Yayasan Obor, 2007.
[4] Ibid
[5] Diambil dari web
site Office of the United Nations High Commissioner for Human Rights
http://www2.ohchr.org/english/law/cescr.htm
Tidak ada komentar:
Posting Komentar