Selasa, 05 Februari 2013

Kesehatan Pasca 2015 Masih Perlu



Pada tahun 2000 disepakati sebuah deklarasi yang ditandatangani 192 negara yang menyatakan rangkaian keamanan, Hak Asasi Manusia (HAM), termasuk berkaitan dengan pembangunan, lingkungan, yang kemudian menelurkan 8 target Milenium Development Goals (MDGs). Dapat dikatakan bahwa MDGs merupakan bagian yang tidak sempurna namun tetap memberi dampak besar bagi Negara dan masyarakat dunia, misalnya meningkatkan akses pendidikan dan kesehatan.[1] Dikatakan tidak sempurna karena dalam penyusunannya kurang memperhatikan kebutuhan dan permasalahan yang nyata dibutuhkan dan dirasakan masyarakat.
Berangkat dari semangat menerapkan proses pelibatan semua pengalaman kerja untuk mengatasi permasalahan kesehatan yang dilakukan oleh kelompok/organisasi masyarakat sipil di beberapa wilayah Indonesia maka di buatlah tulisan berupa usulan untuk permasalahan kesehatan yang perlu diperhatikan. Termasuk disini untuk membahas bersama apa saja yang sudah atau belum dicapai sehubungan dengan target MDGs terkait permasalahan kesehatan. Bilamana belum tercapai target tersebut, tulisan ini mencoba mengidentifikasi alasan hal itu terjadi. Berkaca dari pengalaman dan identifikasi para kelompok/organisasi masyarakat sipil mengenai permasalahan kesehatan yang seyogyanya terpenuhi sesuai dengan target MDGs, akan diusulkan apa yang perlu menjadi agenda kerja mengatasi permasalahan kesehatan pada Paska 2015.
Untuk hal tersebut, tulisan ini akan menggunakan perspektif Hak Asasi Manusia (HAM) dan gender. Perspektif HAM merujuk pada hak-hak dasar yang dimiliki manusia yang bersifat universal. Hak asasi manusia tidak tergantung dari pengakuan manusia lain, masyarakat lain, atau bahkan negara lain. Hak asasi diperoleh manusia dari penciptanya, yaitu Tuhan dan merupakan hak yang tidak dapat diabaikan. Dengan kata lain, Hak Asasi Manusia adalah hak dasar yang dimiliki manusia sebagai anugerah Tuhan dan melekat pada diri manusia, bersifat kodrati, universal dan abadi, berkaitan dengan harkat dan martabat manusia. Setiap manusia diakui dan dihormati mempunyai hak asasi yang sama tanpa membedakan jenis kelamin, warna kulit, kebangsaan, agama, usia, pandangan politik, status sosial dan bahasa serta status lain.
Sedangkan perspekti gender akan membantu kita melihat secara jelas perbedaan-perbedaan serta mampu menunjukkan hubungan antara konsep gender equity dan gender equality. Gender equity adalah sebuah konsep yang menunjukkan adanya proses yang sama bagi perempuan dan laki-laki serta memastikan adanya kesamaan dalam perlakuan (fairness) terhadap perempuan dan laki-laki. Gender equality adalah sebuah konsep yang menunjukkan bahwa perempuan dan laki-laki memiliki kondisi setara untuk mengaktualisasikan hak-hak dan potensinya sebagai manusia agar dapat menyumbangkan serta mendapatkan manfaat dari program-program yang tersedia serta kebijakan-kebijakan yang ada. Gender equality merupakan bentuk pengakuan terhadap perbedaan perempuan dan laki-laki serta menghargai peran yang mereka lakukan. Dengan demikian, gender equity adalah strategi yang digunakan untuk memperoleh gender equality. Gender equity adalah sebuah cara untuk mencapai hasil dan gender equality  adalah hasil yang dicapai.
Di Indonesia,  Hak Asasi Manusia (HAM) telah diatur melalui ratifikasi Duham (Deklarasi Universal Hak asasi Manusia), Kovenan Hak Sipil dan Politik, serta Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya.[2] Turunannya menjadi UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Amandemen UUD 1945, UU tentang Hak Anak, dll. Oleh karena itu Pemerintah Indonesia berkewajiban menegakkan semua UU ini dengan cara menyediakan instrumen hukum serta kebijakan-kebijakan yang berprespektif HAM. Instrumen Hukum yang berprespektif HAM akan menjamin kemerdekaan HAM, karena ditegakkannya hak-hak Warga Negara Indonesia. Sebaliknya jika negara tidak menyediakan intrumen hukum serta kebijakan sebagai upaya penegakan HAM, dan jika negara melakukan pembiaran terhadap pelanggaran HAM yang tengah terjadi maka negara telah melakukan pelanggaran HAM.
Dalam hubungannya dengan perspektif gender, Pemerintah Indonesia telah meratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan pada tahun 1984 menjadi UU no. 7 tahun 1984[3]. Pengaturan ini diperkuat lagi pada tahun 1992, melalui sidang ke-11 Komite Penghapusan Diskriminasi Terhadap Perempuan (CEDAW) yang melahirkan Rekomendasi Umum Nomor 19 yang menyatakan ;
“Kekerasan berbasis gender adalah suatu bentuk diskriminasi yang merupakan hambatan serius bagi kemampuan perempuan untuk menikmati hak-hak dan kebebasannya atas dasar persamaan hak dengan laki-laki. Rekomendasi Umum ini juga secara resmi memperluas larangan atas diskriminasi berdasarkan gender dan merumuskan tindak kekerasan berbasis gender sebagai: tindak kekerasan yang secara langsung ditujukan kepada perempuan karena ia berjenis kelamin perempuan atau mempengaruhi perempuan secara proposional. Termasuk di dalamnya tindakan yang mengakibatkan kerugian atau penderitaan fisik, mental dan seksual, ancaman untuk melakukan tindakan-tindakan tersebut, pemaksaan dan bentuk-bentuk perampasan hak kebebasan lainnya”.
Rekomendasi tersebut di atas menunjukkan ketimpangan terhadap perempuan adalah sebuah pelanggaran HAM. Hal ini sesuai dengan Deklarasi dan Program Aksi Wina[4] (Tahun 1993; Bag. 1, Ayat 18) yang menyebutkan;  “Hak Asasi Perempuan dan anak perempuan merupakan bagian yang melekat, menyatu dan tidak terpisahkan dari hak asasi manusia yang universal. Partisipasi perempuan sepenuhnya dan sama dalam kehidupan politik, sipil dan ekonomi, sosial dan budaya pada tingkat nasional, regional dan international, serta pembasmian segala bentuk diskriminasi atas dasar jenis kelamin merupakan tujuan yang mendapat prioritas pada masyarakat internasional”.
Permasalahan kesehatan akan dilihat dengan kerangka berpikir yang menggunakan perspektif HAM dan gender agar bisa diperoleh gambaran yang utuh mengenai bagaimana kondisi kesehatan dan pengaruh upaya-upaya yang telah dilakukan bagi kehidupan masyarakat, baik laki-laki maupun perempuan di Indonesia.
 Justifikasi
Kesehatan sangat penting bagi pembangunan karena merupakan prasyarat serta indikator sekaligus hasil sebuah capaian kemajuan dalam pembangunan sebuah Negara. Perhatian terhadap masalah kesehatan dengan menghargai dan melindungi hak asasi setiap warga, baik laki-laki maupun perempuan, dapat menjadi kekuatan yang berpotensi mendorong kemajuan dalam upaya memenuhi prioritas pembangunan, termasuk disini penyelesaian permasalahan ketimpangan gender, kesehatan, ketahanan pangan dan ketersediaan air serta anggaran seluruh aspek kesehatan agar dapat mencapai tujuan kesejahteraan masyarakat.
Dengan demikian, tulisan atau ulasan mengenai kesehatan adalah perlu karena sesuai dengan pasal 12 International Covenant on Economic, Social & Cultural Rights (1966)[5], kesehatan, termasuk kesehatan reproduksi dan seksualitas, sangat penting dalam pengembangan potensi manusia serta pembangunan dan diakui sebagai hak-hak asasi yang wajib dipenuhi. Selama masih ditemukan permasalahan yang berhubungan dengan kesehatan, seperti belum terselenggaranya dengan baik pelayanan kesehatan bagi masyarakat atau belum terpenuhinya bagi semua warga pengadaan air bersih, maka pembahasan mengenai permasalahan kesehatan di Indonesia masih sangat relevan dan beralasan kuat untuk menjadi perhatian dalam agenda Paska 2015.



[1] Heru Prasetyo, Deputi I Pengawasan Pengendalian Inisiatif Perubahan Iklim dan Pembangunan Berkelanjutan UKP4, disampaikan pada Seminar dan Pemutaran Film WRI, Desember 2012
[2] http://andimuis.blogspot.com/2008/04/kegagalan-duham.html

[3] Bahan ajar tentang hak perempuan: UU no. 7 tahun 1984 Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita, Yayasan Obor, 2007.

[4] Ibid
[5] Diambil dari web site Office of the United Nations High Commissioner for Human Rights http://www2.ohchr.org/english/law/cescr.htm

Tidak ada komentar:

Posting Komentar