Pelayanan kesehatan merupakan hak setiap warga yang wajib dipenuhi oleh
Negara. Amanah UU No.36 tahun 2009 tentang Kesehatan pasal 171 ayat 1 dan 2
menyebutkan bahwa pemerintah pusat harus mengalokasi 5% dari APBN (di luar
gaji) dan pemerintah daerah harus mengalokasikan 10% dari APBD (di luar gaji)
untuk kesehatan. Ayat 3 pasal 171 mempertegas bahwa 2/3 dari anggaran tersebut
harus digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan. Untuk menjamin
terselenggaranya pelayanan kesehatan yang memadai, pemerintah melalui
Kementerian Kesehatan RI mengeluarkan kebijakan Standar Pelayanan Minimal
(SPM). SPM merupakan salah satu cara yang ditempuh untuk mendorong pemerintah
daerah melakukan pelayanan publik yang tepat bagi masyarakat, dan sekaligus
mendorong masyarakat untuk melakukan kontrol terhadap kinerja pemerintah di
bidang pelayanan publik.[1]
Peraturan
Menteri Kesehatan RI Nomor 741/Menkes/Per/VII/2008 menjelaskan SPM untuk
wilayah kabupaten/kota. Tujuannya adalah agar standar yang dibuat daerah sesuai
dengan kebutuhan dan kemampuan daerah serta prioritas daerah masing-masing. Secara
umum indicator SPM mencakup Pelayanan kesehatan dasar, Pelayanan kesehatan
rujukan, Penyelidikan Epidemiologi dan penanggulangan KLB (Kejadian Luar
Biasa), Promosi kesehatan dan pemberdayaan masyarakat. Sayangnya indicator yang
dibangun hanya merupakan ukuran kuantitatif dengan membandingkan target tahunan
dengan kondisi capaian di lapangan. Selain itu, indicator yang dibuat belum
memuat kebutuhan masyarakat, khususnya untuk
kesehatan perempuan, kelompok difable (berkebutuhan khusus), ODHA (Orang Dengan
HIV/AIDS), dan mereka yang berada di Daerah Terpencil Kepulauan dan Perbatasan
(DTPK). Dalam Pelayanan kesehatan dasar misalnya, pemerintah hanya
memasukan kunjungan pemeriksaan kehamilan, persalinan, bayi, siswa SD dan
setingkat serta pelayanan untuk beberapa penyakit. Pelayanan kesehatan
reproduksi yang menjadi kebutuhan masyarakat belum masuk ke dalam SPM sehingga
pelaksaannya di fasilitas kesehatan belum dianggap sebagai prioritas. Padahal melihat kebutuhan saat ini, pendidikan kesehatan
reproduksi sudah menjadi kebutuhan bagi perempuan dan remaja karena memiliki
kaitan langsung dengan Kehamilan Tidak Diinginkan (KTD) yang menyebabkan tingginya
kematian ibu di Indonesia. Selain itu, pengetahuan kesehatan reproduksi juga
dapat mencegah penularan HIV/AIDS yang justru semakin meningkat di Indonesia
belakangan ini. Tidak hanya itu, pendidikan kesehatan reproduksi juga menjadi
kebutuhan bagi masyarakat difable agar dapat ditangani dan mendapat bantuan
ketika mengalami masa pubertas, misalnya untuk remaja difable perempuan.
Dalam satu dekade ini kebutuhan akan informasi kesehatan reproduksi semakin
menjadi kebutuhan bagi masyarakat dan mendesak untuk segara diberikan. Pasalnya
ada begitu banyak kerugian yang dapat ditimbulkan dengan minimnya pengetahuan
akan kesehatan reproduksi. Dalam pelayanan kesehatan dasar di SPM, pemerintah
hanya memasukkan 1 unsur kesehatan reproduksi, itu pun hanya sebatas penggunaan
KB aktif.[2] Kebutuhan untuk mendapatkan pengetahuan tentang
kesehatan reproduksi tidak hanya pada pelayanan alat kontrasepsi semata, tetapi
bagaimana masyarakat mengetahui beberapa penyakit/infeksi menular seksual yang
berkaitan dengan kesehatan reproduksi mereka. Tidak heran jika angka penyakit
yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi semakin meningkat, mengingat budaya
di masyarakat yang juga masih menganggap tabu apabila membicarakan masalah
kesehatan reproduksi.
Lebih jauh lagi,
pemerintah juga kurang memperhatikan kebutuhan remaja untuk mendapatkan
pelayanan kesehatan reproduksi. Dalam Pelayanan Promosi kesehatan dan
pemberdayaan masyarakat, dikatakan target pemenuhannya hanyalah cakupan desa
siaga aktif, padahal banyak kebutuhan promosi kesehatan yang menjadi kebutuhan
masyarakat, khususnya remaja dalam mendapatkan pendidikan kesehatan. Promosi
kesehatan yang menjadi salah satu Pelayanan mulai dari Puskesmas belum memiliki
kewajiban untuk menyediakan pelayanan kesehatan reproduksi remaja. Usia remaja
adalah usia pencarian jati diri dan pada masa ini pula mereka membutuhkan
informasi sebanyak-banyaknya untuk menentukan pilihan hidup masing-masing,
termasuk kebutuhan informasi kesehatan reproduksi.
Seperti
yang dijelaskan sebelumnya, kurangnya pengetahuan tentang kesehatan reproduksi
ternyata berdampak positif terhadap tingginya kasus KTD baik oleh remaja maupun
perempuan yang telah menikah.[3] Ketidaktahuan ini
berlanjut dengan proses pemulihan haid dengan cara yang tidak aman. Sebagai contoh
mereka mengkonsumsi jamu, obat, atau minuman tradisional untuk pemulihan haid.
Tidak sedikit yang menggunakan cara fisik seperti melompat dan sejenisnya untuk
menggugurkan kandungan, sebagian bahkan memilih melakukan aborsi yang tidak
aman untuk mengakhiri KTD dan tidak mengetahui cara terbaik. Belum adanya
layanan pemulihan haid yang aman dari pemerintah memunculkan banyak praktek
aborsi tidak aman, disamping tidak adanya fasilitas bagi remaja atau ibu yang
mengalami KTD dan ingin mengonsultasikan untuk mengakhirinya dengan cara aman.
Stigma masyarakat, bahkan petugas kesehatan, justru memojokan posisi dan
kondisi ibu yang mengalami KTD, padahal bisa jadi mereka yang mengalaminya
merupakan korban yang tidak menghendaki kehamilan tersebut. Jika diteliti lebih
dalam, praktek pemulihan haid dan aborsi yang tidak aman akan menimbulkan
kerugian bagi kesehatan reproduksi perempuan, lebih parah lagi mereka bisa
sampai mengalami kematian. Tidak heran jika di Indonesia Angka Kematian Ibu
(AKI) masih cukup tinggi karena minimnya fasilitas untuk mendapatkan pelayanan
kesehatan reproduksi untuk perempuan.
Pemerintah harus
mengambil tindakan untuk segera memutus rantai kelam pelayanan kesehatan
reproduksi. Kebijakan untuk memberikan fasilitas pelayanan kesehatan reproduksi
harus segera diberikan. Rekomendasi untuk pelayanan kesehatan pasca 2015 di
Indonesia antara lain:
1.
Memasukan
fasilitas pelayanan kesehatan reproduksi (melalui pendidikan kesehatan
reproduksi) terlebih untuk perempuan, kelompok
difable (berkebutuhan khusus), ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS), dan mereka yang
berada di Daerah Terpencil Kepulauan dan Perbatasan (DTPK) ke dalam
indicator SPM
2.
Mengupayakan
tersedianya layanan kesehatan reproduksi di Puskesmas untuk semua warga,
termasuk fasilitas konsultasi KTD hingga pelayanan pemulihan haid yang aman
3.
Membentuk
peer conseling untuk remaja di setiap
jenjang pendidikan terkait kesehatan reproduksi
4.
Menghapus
praktek aborsi tidak aman karena akan meningkatkan peluang tingginya AKI di
Indonesia
5.
Melakukan
pendekatan cultural kepada masyarakat untuk bisa merubah pola pikir agar
menganggap permasalahan kespro, khususnya kespro remaja merupakan masalah
bersama sehingga tidak lagi menekannya sebagai hal yang tabu untuk dibicarakan
[1] Kushandajani,
Standar Pelayananan Minimal (SPM) dan peningkatan Pelayanan di Era Otonimi
Daerah,
[2] Tabel Indokator
SPM Nasional tahun 2012, http://www.spm.depkes.go.id/tabelindikator_18indikator.php (diakses pada 11
Januari 2013 Pkl. 14.42 WIB)
[3] Hasil Penelitian PKBI Pusat,
Fakta Kebutuhan Perempuan Terhadap Layanan Pemulihan Haid di 13 Kota tahun 2008
– 2011. Dipresentasikan saat Diseminasi hasil penelitian PKBI tanggal 18
Desember 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar