Rabu, 06 Februari 2013

Pelayanan Kesehatan (Reproduksi) Pasca 2015

Pelayanan kesehatan merupakan hak setiap warga yang wajib dipenuhi oleh Negara. Amanah UU No.36 tahun 2009 tentang Kesehatan pasal 171 ayat 1 dan 2 menyebutkan bahwa pemerintah pusat harus mengalokasi 5% dari APBN (di luar gaji) dan pemerintah daerah harus mengalokasikan 10% dari APBD (di luar gaji) untuk kesehatan. Ayat 3 pasal 171 mempertegas bahwa 2/3 dari anggaran tersebut harus digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan. Untuk menjamin terselenggaranya pelayanan kesehatan yang memadai, pemerintah melalui Kementerian Kesehatan RI mengeluarkan kebijakan Standar Pelayanan Minimal (SPM). SPM merupakan salah satu cara yang ditempuh untuk mendorong pemerintah daerah melakukan pelayanan publik yang tepat bagi masyarakat, dan sekaligus mendorong masyarakat untuk melakukan kontrol terhadap kinerja pemerintah di bidang pelayanan publik.[1]
Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 741/Menkes/Per/VII/2008 menjelaskan SPM untuk wilayah kabupaten/kota. Tujuannya adalah agar standar yang dibuat daerah sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan daerah serta prioritas daerah masing-masing. Secara umum indicator SPM mencakup Pelayanan kesehatan dasar, Pelayanan kesehatan rujukan, Penyelidikan Epidemiologi dan penanggulangan KLB (Kejadian Luar Biasa), Promosi kesehatan dan pemberdayaan masyarakat. Sayangnya indicator yang dibangun hanya merupakan ukuran kuantitatif dengan membandingkan target tahunan dengan kondisi capaian di lapangan. Selain itu, indicator yang dibuat belum memuat kebutuhan masyarakat, khususnya untuk kesehatan perempuan, kelompok difable (berkebutuhan khusus), ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS), dan mereka yang berada di Daerah Terpencil Kepulauan dan Perbatasan (DTPK). Dalam Pelayanan kesehatan dasar misalnya, pemerintah hanya memasukan kunjungan pemeriksaan kehamilan, persalinan, bayi, siswa SD dan setingkat serta pelayanan untuk beberapa penyakit. Pelayanan kesehatan reproduksi yang menjadi kebutuhan masyarakat belum masuk ke dalam SPM sehingga pelaksaannya di fasilitas kesehatan belum dianggap sebagai prioritas. Padahal melihat kebutuhan saat ini, pendidikan kesehatan reproduksi sudah menjadi kebutuhan bagi perempuan dan remaja karena memiliki kaitan langsung dengan Kehamilan Tidak Diinginkan (KTD) yang menyebabkan tingginya kematian ibu di Indonesia. Selain itu, pengetahuan kesehatan reproduksi juga dapat mencegah penularan HIV/AIDS yang justru semakin meningkat di Indonesia belakangan ini. Tidak hanya itu, pendidikan kesehatan reproduksi juga menjadi kebutuhan bagi masyarakat difable agar dapat ditangani dan mendapat bantuan ketika mengalami masa pubertas, misalnya untuk remaja difable perempuan.
Dalam satu dekade ini kebutuhan akan informasi kesehatan reproduksi semakin menjadi kebutuhan bagi masyarakat dan mendesak untuk segara diberikan. Pasalnya ada begitu banyak kerugian yang dapat ditimbulkan dengan minimnya pengetahuan akan kesehatan reproduksi. Dalam pelayanan kesehatan dasar di SPM, pemerintah hanya memasukkan 1 unsur kesehatan reproduksi, itu pun hanya sebatas penggunaan KB aktif.[2] Kebutuhan untuk mendapatkan pengetahuan tentang kesehatan reproduksi tidak hanya pada pelayanan alat kontrasepsi semata, tetapi bagaimana masyarakat mengetahui beberapa penyakit/infeksi menular seksual yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi mereka. Tidak heran jika angka penyakit yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi semakin meningkat, mengingat budaya di masyarakat yang juga masih menganggap tabu apabila membicarakan masalah kesehatan reproduksi.
Lebih jauh lagi, pemerintah juga kurang memperhatikan kebutuhan remaja untuk mendapatkan pelayanan kesehatan reproduksi. Dalam Pelayanan Promosi kesehatan dan pemberdayaan masyarakat, dikatakan target pemenuhannya hanyalah cakupan desa siaga aktif, padahal banyak kebutuhan promosi kesehatan yang menjadi kebutuhan masyarakat, khususnya remaja dalam mendapatkan pendidikan kesehatan. Promosi kesehatan yang menjadi salah satu Pelayanan mulai dari Puskesmas belum memiliki kewajiban untuk menyediakan pelayanan kesehatan reproduksi remaja. Usia remaja adalah usia pencarian jati diri dan pada masa ini pula mereka membutuhkan informasi sebanyak-banyaknya untuk menentukan pilihan hidup masing-masing, termasuk kebutuhan informasi kesehatan reproduksi.
Seperti yang dijelaskan sebelumnya, kurangnya pengetahuan tentang kesehatan reproduksi ternyata berdampak positif terhadap tingginya kasus KTD baik oleh remaja maupun perempuan yang telah menikah.[3] Ketidaktahuan ini berlanjut dengan proses pemulihan haid dengan cara yang tidak aman. Sebagai contoh mereka mengkonsumsi jamu, obat, atau minuman tradisional untuk pemulihan haid. Tidak sedikit yang menggunakan cara fisik seperti melompat dan sejenisnya untuk menggugurkan kandungan, sebagian bahkan memilih melakukan aborsi yang tidak aman untuk mengakhiri KTD dan tidak mengetahui cara terbaik. Belum adanya layanan pemulihan haid yang aman dari pemerintah memunculkan banyak praktek aborsi tidak aman, disamping tidak adanya fasilitas bagi remaja atau ibu yang mengalami KTD dan ingin mengonsultasikan untuk mengakhirinya dengan cara aman. Stigma masyarakat, bahkan petugas kesehatan, justru memojokan posisi dan kondisi ibu yang mengalami KTD, padahal bisa jadi mereka yang mengalaminya merupakan korban yang tidak menghendaki kehamilan tersebut. Jika diteliti lebih dalam, praktek pemulihan haid dan aborsi yang tidak aman akan menimbulkan kerugian bagi kesehatan reproduksi perempuan, lebih parah lagi mereka bisa sampai mengalami kematian. Tidak heran jika di Indonesia Angka Kematian Ibu (AKI) masih cukup tinggi karena minimnya fasilitas untuk mendapatkan pelayanan kesehatan reproduksi untuk perempuan.
Pemerintah harus mengambil tindakan untuk segera memutus rantai kelam pelayanan kesehatan reproduksi. Kebijakan untuk memberikan fasilitas pelayanan kesehatan reproduksi harus segera diberikan. Rekomendasi untuk pelayanan kesehatan pasca 2015 di Indonesia antara lain:
1.      Memasukan fasilitas pelayanan kesehatan reproduksi (melalui pendidikan kesehatan reproduksi) terlebih untuk perempuan, kelompok difable (berkebutuhan khusus), ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS), dan mereka yang berada di Daerah Terpencil Kepulauan dan Perbatasan (DTPK) ke dalam indicator SPM
2.      Mengupayakan tersedianya layanan kesehatan reproduksi di Puskesmas untuk semua warga, termasuk fasilitas konsultasi KTD hingga pelayanan pemulihan haid yang aman
3.      Membentuk peer conseling untuk remaja di setiap jenjang pendidikan terkait kesehatan reproduksi
4.      Menghapus praktek aborsi tidak aman karena akan meningkatkan peluang tingginya AKI di Indonesia
5.      Melakukan pendekatan cultural kepada masyarakat untuk bisa merubah pola pikir agar menganggap permasalahan kespro, khususnya kespro remaja merupakan masalah bersama sehingga tidak lagi menekannya sebagai hal yang tabu untuk dibicarakan


[1] Kushandajani, Standar Pelayananan Minimal (SPM) dan peningkatan Pelayanan di Era Otonimi Daerah,
[2] Tabel Indokator SPM Nasional tahun 2012, http://www.spm.depkes.go.id/tabelindikator_18indikator.php (diakses pada 11 Januari 2013 Pkl. 14.42 WIB)
[3] Hasil Penelitian PKBI Pusat, Fakta Kebutuhan Perempuan Terhadap Layanan Pemulihan Haid di 13 Kota tahun 2008 – 2011. Dipresentasikan saat Diseminasi hasil penelitian PKBI tanggal 18 Desember 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar