Pemerintah
sebenarnya sudah memiliki dasar hukum yang jelas tentang kewajiban memberikan
pelayanan untuk masyarakat, baik laki-laki maupun perempuan (UU No. 36/2009
pasal 3). Selain itu ketetapan tentang anggaran kesehatan juga sudah di atur
yaitu sebesar 5% APBN dan 10% APBD diluar gaji (UU No.36/2009 pasal 171). Namun pada
prakteknya alokasi anggaran kesehatan belum berjalan sesuai amanah UU
kesehatan. Anggaran khusus untuk kesehatan ibu dan
anak, masyarakat difabel yang memiliki kebutuhan kesehatan khusus, Orang dengan
HIV/AIDS (ODHA) yang membutuhkan pelayanan intensif ternyata belum menjadi
perhatian pemerintah. Selain itu, penetapan anggaran daerah 10% APBD pun masih
sangat sulit diterapkan, terlebih untuk Daerah Terpencil, Perbatasan, dan
Kepulauan (DTPK).
Alokasi anggaran
kesehatan reproduksi perempuan dapat dilihat melalui identifikasi program dan
kegiatan yang berhubungan dengan penurunan Angka Kematian Ibu (AKI). Hasil
penelitian Women Research Institute (WRI) yang dilakukan di 7 wilayah
(Jembrana, Lebak, Lombok Tengah, Sumba Barat, dan Lampung Utara) menunjukan
bahwa hanya Kabupaten Jembrana (10%) dan Kabupaten Lebak (10,7%) yang
menjalankan mandat UU No.36 tahun 2009 tentang kesehatan. Daerah lainnya menjadikan Pendapatan Asli
Daerah (PAD) dan Dana Bagi Hasil (DBH) serta Dana Alokasi Umum (DAU) untuk
memenuhi kebutuhan daerah. Hal ini dijadikan alasan daerah tidak dapat
menjalankan amanah UU tersebut. Hal ini menjadi ironi sebab Lombok Tengah,
Sumba Barat, dan Lampung Utara memiliki kemampuan fiscal yang sama dengan
Jembrana dan Lebak. Lebih ironis lagi,
Surakarta dan Indramayu yang
kemampuannya dua kali lipat dari Jembrana dan Lebak, mengaku tidak mampu
menjalankan amanah UU tersebut.[1]
Jadi dapat diketahui bahwa yang dapat menyelamatkan hidup perempuan miskin
adalah kemampuan politik pemerintah dalam memenuhi mandat UU Kesehatan, bukan
DAU atau PAD.
Hasil
penelitian FITRA tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) di 41
Kabupaten/Kota menunjukan bahwa alokasi anggaran untuk kesehatan dalam anggaran
daerah sangat minim. Hanya 12 dari 41 kabupaten/kota yang diteliti mengalokasi
10-16% anggaran APBD untuk kesehatan, sementara sisanya hanya mengalokasikan
kurang dari 10%.[2] Di Indonesia, tingginya AKI masih menjadi persoalan di
beberapa daerah. Lebih jauh lagi, dari riset yang dilakukan FITRA perhatian
dari pemerintah daerah terhadap anggaran Kesehatan Ibu dan Anak (KIA)
seringkali kurang memadai. Dari 34 kabupaten/kota yang dianalisis, 32
diantaranya memiliki belanja program KIA per kapita kurang dari Rp.46.000,-
sementara hasil riset lain menetapkan standar kelayakan program KIA setidaknya
sebesar Rp.65.000,- per kapita. Di Kendal misalnya, belanja program KIA per
kapita hanya sebesar Rp.2.000,- per tahun. Anggaran sebesar ini tentu kurang
memadai, apalagi jika daerah mengalami masalah kesehatan ibu dan anak yang
berat.[3]
Selama periode 2006 – 2012 rata-rata pertumbuhan anggaran
kesehatan Indonesia adalah 14%. Anggaran kesehatan yang didistribusikan ke
daerah berkontribusi terbesar untuk peningkatan pertumbuhan anggaran kesehatan
selama periode 2010 – 2011. Terjadi peningkatan DAK Kesehatan sebesar Rp.913,3
milyar dari Rp.2,7 trilyun di tahun 2010 menjadi Rp.3,6 triliun di tahun 2011.[4] Namun demikian, anggaran kesehatan masih saja di bawah
5% dari belanja APBN.(lihat lampiran, grafik 6: Tren Anggaran Kesehatan
Indonesia tahun 2006 – 2012).
Dalam UU No.36 tahun 2009 tentang Kesehatan, tertuang jelas amanat untuk
mengalokasikan dana 5% APBN dan 10% APBD di luar gaji untuk anggaran kesehatan.
Meskipun secara nominal, sejak tahun 2005 – 2012 anggaran kesehatan mengalami
kenaikan sebesar 167% tetapi proporsi anggaran kesehatan tidak pernah lebih
dari 3% total belanja APBN.[5] Agar
dapat memenuhi mandate UU Kesehatan tersebut, upaya yang dapat dilakukan adalah
sebagai berikut:
1.
Pemerintah
pusat dan daerah, termasuk Daerah Terpencil, Perbatasan
dan Kepulauan (DTPK) harus berkomitmen untuk menjalankan amanah UU
No.36/2009 pasal 171 untuk mengalokasikan
5% APBN dan 10% APBD 2013 untuk kesehatan di luar gaji
2.
Memastikan
bahwa 2/3 dari total anggaran kesehatan digunakan untuk kepentingan pelayanan
kesehatan, seperti dituangkan dalam pasal 171 ayat 3 UU No.36/2009 dan bukan
untuk insfrastruktur seperti yang selama ini banyak dilakukan
3.
Membuat
kebijakan ARG untuk kesehatan, misalnya dengan mengaharuskan 20% anggaran
kesehatan untuk kegiatan Kesehatan Ibu dan Anak (KIA)
4.
Memastikan
alokasi anggaran KIA berjalan tepat sasaran untuk memenuhi target penurunan AKI
dan AKB serta AKA (Angka Kematian Ibu, Bayi, dan Anak)
5. Memberikan
alokasi anggaran khusus untuk kebutuhan masyarakat difable dan Orang dengan
HIV/AIDS (ODHA) yang membutuhkan pelayanan kesehatan lebih dari pelayanan pada
umumnya
6.
Memastikan
anggaran untuk biaya gaji dan penggantian, khususnya penggantian biaya
persalinan oleh bidan desa berjalan dengan lancar untuk mendukung kinerja bidan
desa sebagai ujung tombak pemberi pelayanan kesehatan untuk ibu hamil dan
melahirkan
[1] Mencari Ujung
Tombak Penurunan Angka Kematian Ibu di Indonesia, Women Research Institute,
2011
[2] FITRA, Analisis
Anggaran Daerah di Indonesia: Kajian Pengelolaan APBD di 41 Kabupaten/kota,
2010, hlm.32
[3] Yuna Farhan,
Kebijakan Publik Berbasis HAM dalam
Fungsi Anggaran, dalam Buku Panduan Pembuatan Kebijakan Publik Berbasis Hak
Asasi Manusia (HAM) untuk Anggota Legislatif, Demos, 2011
[4] Arah Kebijakan Belanja Negara APBN Alternatif TA.2013,
FITRA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar