Rabu, 13 Februari 2013

Indonesia : Masih Bangga dengan Pertumbuhan Ekonomi?

Secara angka, pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun 2012 mengalami peningkatan hingga mencapai 6,3%, sementara untuk tahun 2013 diramalkan ekonomi Indonesia kembali mengalami peningkatan antara 6,3 - 6,7%. Secara statistik kenaikan ekonomi Indonesia merupakan prestasi di bidang ekonomi. Selain meningkatkan jumlah investor dan menaikan devisa negara, kenaikan ekonomi juga memunculkan kestabilan suatu negara. 
Sayangnya, kenaikan ekonomi yang sewajarnya linear dengan bertambahnya lapangan pekerjaan dan menurunnya kemiskinan, tidak (atau belum) terjadi di Indonesia. Angka Index Gini di Indonesia justru mengalami peningkatan bahkan hingga 41%. Angka ini menunjukan ketimpangan luar biasa antara "si kaya" dan "si miskin" yang terjadi di Indonesia. Kenaikan pertumbuhan ekonomi yang digadang-gadangkan sebagai pencapaian luar biasa dari Indonesia ternyata tidak mampu membuka lapangan pekerjaan baru di Indonesia. Akibatnya jumlah pengangguran masih saja banyak, dimana saat ini mencapai 6,8% dari total penduduk Indonesia.
Lebih jauh lagi, pendanaan untuk penanggulangan kemiskinan di Indonesia selalu mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Mulai dari tahun 2007 sebesar Rp.53 Trilyun menjadi Rp.106 Trilyun di anggaran tahun 2013. Kenaikan yang signifikan ini ternyata tidak berpengarus banyak terhadap tingkat kemiskinan Indonesia yang masih berada pada angka 12,5%. 
Sebagai warga negara, kita harus lebih kritis melihat mana yang "prestasi" dan mana yang "aib" negara. Ketika kita ikut membangga-banggakan kenaikan pertumbuhan ekonomi, coba telusuri ulang apakah wajar jika kita bangga dengan kenaikan pertumbuhan ekonomi tapi pengangguran dan kemiskinan tetap banyak di Indonesia. Sebuah ironi bangsa ini.

Sumber Data:
BPS, Perkembangan Beberapa Indikator Utama Sosial-Ekonomi Indonesia
SAPA, Aliansi Strategi Penanggulangan Kemiskinan

Rabu, 06 Februari 2013

Pelayanan Kesehatan (Reproduksi) Pasca 2015

Pelayanan kesehatan merupakan hak setiap warga yang wajib dipenuhi oleh Negara. Amanah UU No.36 tahun 2009 tentang Kesehatan pasal 171 ayat 1 dan 2 menyebutkan bahwa pemerintah pusat harus mengalokasi 5% dari APBN (di luar gaji) dan pemerintah daerah harus mengalokasikan 10% dari APBD (di luar gaji) untuk kesehatan. Ayat 3 pasal 171 mempertegas bahwa 2/3 dari anggaran tersebut harus digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan. Untuk menjamin terselenggaranya pelayanan kesehatan yang memadai, pemerintah melalui Kementerian Kesehatan RI mengeluarkan kebijakan Standar Pelayanan Minimal (SPM). SPM merupakan salah satu cara yang ditempuh untuk mendorong pemerintah daerah melakukan pelayanan publik yang tepat bagi masyarakat, dan sekaligus mendorong masyarakat untuk melakukan kontrol terhadap kinerja pemerintah di bidang pelayanan publik.[1]
Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 741/Menkes/Per/VII/2008 menjelaskan SPM untuk wilayah kabupaten/kota. Tujuannya adalah agar standar yang dibuat daerah sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan daerah serta prioritas daerah masing-masing. Secara umum indicator SPM mencakup Pelayanan kesehatan dasar, Pelayanan kesehatan rujukan, Penyelidikan Epidemiologi dan penanggulangan KLB (Kejadian Luar Biasa), Promosi kesehatan dan pemberdayaan masyarakat. Sayangnya indicator yang dibangun hanya merupakan ukuran kuantitatif dengan membandingkan target tahunan dengan kondisi capaian di lapangan. Selain itu, indicator yang dibuat belum memuat kebutuhan masyarakat, khususnya untuk kesehatan perempuan, kelompok difable (berkebutuhan khusus), ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS), dan mereka yang berada di Daerah Terpencil Kepulauan dan Perbatasan (DTPK). Dalam Pelayanan kesehatan dasar misalnya, pemerintah hanya memasukan kunjungan pemeriksaan kehamilan, persalinan, bayi, siswa SD dan setingkat serta pelayanan untuk beberapa penyakit. Pelayanan kesehatan reproduksi yang menjadi kebutuhan masyarakat belum masuk ke dalam SPM sehingga pelaksaannya di fasilitas kesehatan belum dianggap sebagai prioritas. Padahal melihat kebutuhan saat ini, pendidikan kesehatan reproduksi sudah menjadi kebutuhan bagi perempuan dan remaja karena memiliki kaitan langsung dengan Kehamilan Tidak Diinginkan (KTD) yang menyebabkan tingginya kematian ibu di Indonesia. Selain itu, pengetahuan kesehatan reproduksi juga dapat mencegah penularan HIV/AIDS yang justru semakin meningkat di Indonesia belakangan ini. Tidak hanya itu, pendidikan kesehatan reproduksi juga menjadi kebutuhan bagi masyarakat difable agar dapat ditangani dan mendapat bantuan ketika mengalami masa pubertas, misalnya untuk remaja difable perempuan.
Dalam satu dekade ini kebutuhan akan informasi kesehatan reproduksi semakin menjadi kebutuhan bagi masyarakat dan mendesak untuk segara diberikan. Pasalnya ada begitu banyak kerugian yang dapat ditimbulkan dengan minimnya pengetahuan akan kesehatan reproduksi. Dalam pelayanan kesehatan dasar di SPM, pemerintah hanya memasukkan 1 unsur kesehatan reproduksi, itu pun hanya sebatas penggunaan KB aktif.[2] Kebutuhan untuk mendapatkan pengetahuan tentang kesehatan reproduksi tidak hanya pada pelayanan alat kontrasepsi semata, tetapi bagaimana masyarakat mengetahui beberapa penyakit/infeksi menular seksual yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi mereka. Tidak heran jika angka penyakit yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi semakin meningkat, mengingat budaya di masyarakat yang juga masih menganggap tabu apabila membicarakan masalah kesehatan reproduksi.
Lebih jauh lagi, pemerintah juga kurang memperhatikan kebutuhan remaja untuk mendapatkan pelayanan kesehatan reproduksi. Dalam Pelayanan Promosi kesehatan dan pemberdayaan masyarakat, dikatakan target pemenuhannya hanyalah cakupan desa siaga aktif, padahal banyak kebutuhan promosi kesehatan yang menjadi kebutuhan masyarakat, khususnya remaja dalam mendapatkan pendidikan kesehatan. Promosi kesehatan yang menjadi salah satu Pelayanan mulai dari Puskesmas belum memiliki kewajiban untuk menyediakan pelayanan kesehatan reproduksi remaja. Usia remaja adalah usia pencarian jati diri dan pada masa ini pula mereka membutuhkan informasi sebanyak-banyaknya untuk menentukan pilihan hidup masing-masing, termasuk kebutuhan informasi kesehatan reproduksi.
Seperti yang dijelaskan sebelumnya, kurangnya pengetahuan tentang kesehatan reproduksi ternyata berdampak positif terhadap tingginya kasus KTD baik oleh remaja maupun perempuan yang telah menikah.[3] Ketidaktahuan ini berlanjut dengan proses pemulihan haid dengan cara yang tidak aman. Sebagai contoh mereka mengkonsumsi jamu, obat, atau minuman tradisional untuk pemulihan haid. Tidak sedikit yang menggunakan cara fisik seperti melompat dan sejenisnya untuk menggugurkan kandungan, sebagian bahkan memilih melakukan aborsi yang tidak aman untuk mengakhiri KTD dan tidak mengetahui cara terbaik. Belum adanya layanan pemulihan haid yang aman dari pemerintah memunculkan banyak praktek aborsi tidak aman, disamping tidak adanya fasilitas bagi remaja atau ibu yang mengalami KTD dan ingin mengonsultasikan untuk mengakhirinya dengan cara aman. Stigma masyarakat, bahkan petugas kesehatan, justru memojokan posisi dan kondisi ibu yang mengalami KTD, padahal bisa jadi mereka yang mengalaminya merupakan korban yang tidak menghendaki kehamilan tersebut. Jika diteliti lebih dalam, praktek pemulihan haid dan aborsi yang tidak aman akan menimbulkan kerugian bagi kesehatan reproduksi perempuan, lebih parah lagi mereka bisa sampai mengalami kematian. Tidak heran jika di Indonesia Angka Kematian Ibu (AKI) masih cukup tinggi karena minimnya fasilitas untuk mendapatkan pelayanan kesehatan reproduksi untuk perempuan.
Pemerintah harus mengambil tindakan untuk segera memutus rantai kelam pelayanan kesehatan reproduksi. Kebijakan untuk memberikan fasilitas pelayanan kesehatan reproduksi harus segera diberikan. Rekomendasi untuk pelayanan kesehatan pasca 2015 di Indonesia antara lain:
1.      Memasukan fasilitas pelayanan kesehatan reproduksi (melalui pendidikan kesehatan reproduksi) terlebih untuk perempuan, kelompok difable (berkebutuhan khusus), ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS), dan mereka yang berada di Daerah Terpencil Kepulauan dan Perbatasan (DTPK) ke dalam indicator SPM
2.      Mengupayakan tersedianya layanan kesehatan reproduksi di Puskesmas untuk semua warga, termasuk fasilitas konsultasi KTD hingga pelayanan pemulihan haid yang aman
3.      Membentuk peer conseling untuk remaja di setiap jenjang pendidikan terkait kesehatan reproduksi
4.      Menghapus praktek aborsi tidak aman karena akan meningkatkan peluang tingginya AKI di Indonesia
5.      Melakukan pendekatan cultural kepada masyarakat untuk bisa merubah pola pikir agar menganggap permasalahan kespro, khususnya kespro remaja merupakan masalah bersama sehingga tidak lagi menekannya sebagai hal yang tabu untuk dibicarakan


[1] Kushandajani, Standar Pelayananan Minimal (SPM) dan peningkatan Pelayanan di Era Otonimi Daerah,
[2] Tabel Indokator SPM Nasional tahun 2012, http://www.spm.depkes.go.id/tabelindikator_18indikator.php (diakses pada 11 Januari 2013 Pkl. 14.42 WIB)
[3] Hasil Penelitian PKBI Pusat, Fakta Kebutuhan Perempuan Terhadap Layanan Pemulihan Haid di 13 Kota tahun 2008 – 2011. Dipresentasikan saat Diseminasi hasil penelitian PKBI tanggal 18 Desember 2012

Target Penurunan Angka Kematian Ibu di Indonesia

Dari semua target MDGs, kinerja penurunan angka kematian ibu secara global masih rendah. Di Indonesia, Angka Kematian Ibu (AKI/MMR (Maternal Mortality Rate)) menurun dari 390 pada tahun 1991 menjadi 228 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2007. Target pencapaian MDG pada tahun 2015 adalah sebesar 102 per 100.000 kelahiran hidup, sehingga diperlukan kerja keras untuk mencapai target tersebut. Walaupun pelayanan antenatal dan pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan terlah cukup tinggi, beberapa faktor seperti risiko tinggi pada saat kehamilan dan aborsi perlu mendapat perhatian.[1] Berdasarkan angka di atas diketahui bahwa target penurunan AKI di Indonesia bahkan belum mencapai setengah angka yang diharapkan (lihat lampiran, grafik 1: Proyeksi Angka Kematian Ibu (AKI) 1991 – 2025).

Pertolongan persalinan dengan bantuan tenaga kesehatan terlatih merupakan salah satu cara yang paling efektif untuk menurunkan AKI di Indonesia. Persentase persalinan yang ditolong oleh tenaga kesehatan terlatih meningkat dari 66,7% pada tahun 2002 menjadi 77,34 % pada tahun 2009 (Susenas). Angka tersebut terus meningkat menjadi 82,3% pada tahun 2010 (Riskesdas, 2010). Disparitas pertolongan persalinan oleh tenaga terlatih antarwilayah masih merupakan masalah. Data Susenas tahun 2009 menunjukkan capaian tertinggi sebesar 98,14% di DKI Jakarta sedangkan terendah sebesar 42,48% di Maluku.[2] (lihat lampiran, grafik 2: Presentase Pertolongan Persalinan Oleh Tenaga Kesehatan 2009).

Untuk memastikan kesehatan ibu selama kehamilan, diperlukan pelayanan antenatal (antenatal care/ANC), hal ini juga dilakukan untuk menjamin ibu untuk melakukan persalinan di fasiltas kesehatan. Sekitar 93% ibu hamil memperoleh pelayanan antenatal dari tenaga kesehatan profesional selama masa kehamilan. Terdapat 81,5% ibu hamil yang melakukan paling sedikit empat kali kunjungan pemeriksaan selama masa kehamilan, namun baru 65,5% yang melakukan empat kali kunjungan sesuai jadwal yang dianjurkan. (lihat lampiran, grafik 3: Pelayanan Antenatal K1 dan K4 di Indonesia tahun 1991 – 2007).

Angka pemakaian kontrasepsi (Contraceptive Prevalence Rate-CPR) menunjukkan peningkatan dalam 5 tahun terakhir. Capaian CPR semua cara secara nasional meningkat dari 49,7% pada tahun 1991 menjadi 61,4% pada tahun 2007. Sementara itu, untuk CPR cara modern meningkat dari 47,1% pada tahun 1991 menjadi 57,4 % pada tahun 2007 (SDKI). Selanjutnya, di antara CPR cara modern, KB suntik merupakan cara yang paling banyak digunakan (32%), diikuti pil KB sebesar 13% (SDKI, 2007).[3] (lihat lampiran, grafik 4: Kecenderungan CPR pada Perempuan Menikah Usia 15 – 49 tahun).

Angka unmet need cenderung bervariasi antarprovinsi, antardaerah dan antarstatus sosial-ekonomi. Unmet need terendah terdapat di Bangka Belitung (3,2%) dan tertinggi di Maluku (22,4%). Unmet need di perdesaan (9,2%) lebih tinggi dibandingkan di perkotaan (8,7%). Unmet need pada perempuan dengan tingkat pendidikan rendah lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan dengan tingkat pendidikan tinggi (11% berbanding 8%). Hal ini mengindikasikan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan dan kesejahteraan, maka akan semakin tinggi pula akses akan informasi dan layanan keluarga berencana dan kesehatan reproduksi. Tingginya unmet need disebabkan oleh ketakutan terhadap efek samping dan ketidaknyamanan dalam penggunaan kontrasepsi. Sebesar 12,3% perempuan usia 15-19 tahun tidak ingin menggunakan alat/obat kontrasepsi karena takut efek samping, 10,1 % karena masalah kesehatan dan 3,1 % karena dilarang oleh suami.[4] (lihat lampiran, grafik 5: Unmet need Menurut Tujuan Penggunaan per Provinsi tahun 2007).

Dari data yang dijelaskan di atas, ternyata masih banyak ditemukan tantangan dan kendala selama proses penurunan AKI di Indonesia.

1.      Terbatasnya akses masyarakat terhadap fasilitas pelayanan kesehatan yang berkualitas, terutama bagi penduduk miskin di daerah tertinggal, terpencil, perbatasan dan kepulauan (DTPK).

2.      Terbatasnya ketersediaan tenaga kesehatan baik dari segi jumlah, kualitas dan persebarannya, terutama bidan.

3.      Masih rendahnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga kesehatan dan keselamatan ibu.

4.      Masih rendahnya status gizi dan kesehatan ibu hamil.

5.      Masih rendahnya angka pemakaian kontrasepsi dan tingginya unmet need.

6.      Pengukuran AKI masih belum tepat, karena sistem pencatatan penyebab kematian ibu masih belum adekuat



Ke depan, upaya peningkatan kesehatan ibu diprioritaskan pada perluasan pelayanan kesehatan berkualitas, pelayanan obstetrik yang komprehensif, peningkatan pelayanan keluarga berencana dan penyebarluasan komunikasi, informasi dan edukasi kepada masyarakat. Penyediaan fasilitas pelayanan obstetrik neonatal emergensi komprehensif (PONEK), pelayanan obstetrik neonatal emergensi dasar (PONED), posyandu dan unit transfusi darah yang belum seluruhnya terjangkau oleh seluruh penduduk harus menjadi prioritas pemerintah sebagai upaya penurunan AKI di Indonesia. Sistem rujukan dari rumah ke puskesmas dan ke rumah sakit juga belum berjalan optimal. Ditambah lagi, dengan kendala geografis, hambatan transportasi, dan faktor budaya. Selain itu pemerintah juga harus merapihkan sistem pencatatan terkait upaya penurunan AKI di Indonesia sehingga data yang ditampilkan benar-benar menggambarkan kondisi kesehatan perempuan Indonesia saat ini.

Mengingat pentingnya AKI sebagai salah satu indikator pembangunan Negara, maka sudah sewajarnya pemerintah membuat sebuah kebijakan mengenai anggaran untuk meningkatkan kesehatan perempuan, termasuk perempuan difable, perempuan dengan HIV/AIDS, dan perempuan yang tinggal di Daerah Terpencil Perbatasan dan Kepulauan (DTPK). Tidak hanya menggunakan indikator angka sebagai target tetapi juga indikator input dan proses seperti penetapan anggaran kesehatan perempuan, pemerataan jumlah tenaga kesehatan yang terjangkau, serta pendidikan kesehatan reproduksi untuk perempuan.




[1] Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium Indonesia 2010. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, 2010, hal. 66

[2] Ibid, hal. 67

[3] Ibid, hal.68


[4] Ibid, hal. 69

Pembiayaan Kesehatan Pasca 2015


Pemerintah sebenarnya sudah memiliki dasar hukum yang jelas tentang kewajiban memberikan pelayanan untuk masyarakat, baik laki-laki maupun perempuan (UU No. 36/2009 pasal 3). Selain itu ketetapan tentang anggaran kesehatan juga sudah di atur yaitu sebesar 5% APBN dan 10% APBD diluar gaji (UU No.36/2009 pasal 171). Namun pada prakteknya alokasi anggaran kesehatan belum berjalan sesuai amanah UU kesehatan. Anggaran khusus untuk kesehatan ibu dan anak, masyarakat difabel yang memiliki kebutuhan kesehatan khusus, Orang dengan HIV/AIDS (ODHA) yang membutuhkan pelayanan intensif ternyata belum menjadi perhatian pemerintah. Selain itu, penetapan anggaran daerah 10% APBD pun masih sangat sulit diterapkan, terlebih untuk Daerah Terpencil, Perbatasan, dan Kepulauan (DTPK).
Alokasi anggaran kesehatan reproduksi perempuan dapat dilihat melalui identifikasi program dan kegiatan yang berhubungan dengan penurunan Angka Kematian Ibu (AKI). Hasil penelitian Women Research Institute (WRI) yang dilakukan di 7 wilayah (Jembrana, Lebak, Lombok Tengah, Sumba Barat, dan Lampung Utara) menunjukan bahwa hanya Kabupaten Jembrana (10%) dan Kabupaten Lebak (10,7%) yang menjalankan mandat UU No.36 tahun 2009 tentang kesehatan.  Daerah lainnya menjadikan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Dana Bagi Hasil (DBH) serta Dana Alokasi Umum (DAU) untuk memenuhi kebutuhan daerah. Hal ini dijadikan alasan daerah tidak dapat menjalankan amanah UU tersebut. Hal ini menjadi ironi sebab Lombok Tengah, Sumba Barat, dan Lampung Utara memiliki kemampuan fiscal yang sama dengan Jembrana dan Lebak.  Lebih ironis lagi, Surakarta dan Indramayu  yang kemampuannya dua kali lipat dari Jembrana dan Lebak, mengaku tidak mampu menjalankan amanah UU tersebut.[1] Jadi dapat diketahui bahwa yang dapat menyelamatkan hidup perempuan miskin adalah kemampuan politik pemerintah dalam memenuhi mandat UU Kesehatan, bukan DAU atau PAD.
Hasil penelitian FITRA tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) di 41 Kabupaten/Kota menunjukan bahwa alokasi anggaran untuk kesehatan dalam anggaran daerah sangat minim. Hanya 12 dari 41 kabupaten/kota yang diteliti mengalokasi 10-16% anggaran APBD untuk kesehatan, sementara sisanya hanya mengalokasikan kurang dari 10%.[2] Di Indonesia, tingginya AKI masih menjadi persoalan di beberapa daerah. Lebih jauh lagi, dari riset yang dilakukan FITRA perhatian dari pemerintah daerah terhadap anggaran Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) seringkali kurang memadai. Dari 34 kabupaten/kota yang dianalisis, 32 diantaranya memiliki belanja program KIA per kapita kurang dari Rp.46.000,- sementara hasil riset lain menetapkan standar kelayakan program KIA setidaknya sebesar Rp.65.000,- per kapita. Di Kendal misalnya, belanja program KIA per kapita hanya sebesar Rp.2.000,- per tahun. Anggaran sebesar ini tentu kurang memadai, apalagi jika daerah mengalami masalah kesehatan ibu dan anak yang berat.[3]
Selama periode 2006 – 2012 rata-rata pertumbuhan anggaran kesehatan Indonesia adalah 14%. Anggaran kesehatan yang didistribusikan ke daerah berkontribusi terbesar untuk peningkatan pertumbuhan anggaran kesehatan selama periode 2010 – 2011. Terjadi peningkatan DAK Kesehatan sebesar Rp.913,3 milyar dari Rp.2,7 trilyun di tahun 2010 menjadi Rp.3,6 triliun di tahun  2011.[4] Namun demikian, anggaran kesehatan masih saja di bawah 5% dari belanja APBN.(lihat lampiran, grafik 6: Tren Anggaran Kesehatan Indonesia tahun 2006 – 2012).
Dalam UU No.36 tahun 2009 tentang Kesehatan, tertuang jelas amanat untuk mengalokasikan dana 5% APBN dan 10% APBD di luar gaji untuk anggaran kesehatan. Meskipun secara nominal, sejak tahun 2005 – 2012 anggaran kesehatan mengalami kenaikan sebesar 167% tetapi proporsi anggaran kesehatan tidak pernah lebih dari 3% total belanja APBN.[5] Agar dapat memenuhi mandate UU Kesehatan tersebut, upaya yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut:
1.      Pemerintah pusat dan daerah, termasuk Daerah Terpencil, Perbatasan dan Kepulauan (DTPK) harus berkomitmen untuk menjalankan amanah UU No.36/2009  pasal 171 untuk mengalokasikan 5% APBN dan 10% APBD 2013 untuk kesehatan di luar gaji
2.      Memastikan bahwa 2/3 dari total anggaran kesehatan digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan, seperti dituangkan dalam pasal 171 ayat 3 UU No.36/2009 dan bukan untuk insfrastruktur seperti yang selama ini banyak dilakukan
3.      Membuat kebijakan ARG untuk kesehatan, misalnya dengan mengaharuskan 20% anggaran kesehatan untuk kegiatan Kesehatan Ibu dan Anak (KIA)
4.      Memastikan alokasi anggaran KIA berjalan tepat sasaran untuk memenuhi target penurunan AKI dan AKB serta AKA (Angka Kematian Ibu, Bayi, dan Anak)
5.      Memberikan alokasi anggaran khusus untuk kebutuhan masyarakat difable dan Orang dengan HIV/AIDS (ODHA) yang membutuhkan pelayanan kesehatan lebih dari pelayanan pada umumnya
6.      Memastikan anggaran untuk biaya gaji dan penggantian, khususnya penggantian biaya persalinan oleh bidan desa berjalan dengan lancar untuk mendukung kinerja bidan desa sebagai ujung tombak pemberi pelayanan kesehatan untuk ibu hamil dan melahirkan



[1] Mencari Ujung Tombak Penurunan Angka Kematian Ibu di Indonesia, Women Research Institute, 2011

[2] FITRA, Analisis Anggaran Daerah di Indonesia: Kajian Pengelolaan APBD di 41 Kabupaten/kota, 2010, hlm.32

[3] Yuna Farhan, Kebijakan Publik Berbasis HAM  dalam Fungsi Anggaran, dalam Buku Panduan Pembuatan Kebijakan Publik Berbasis Hak Asasi Manusia (HAM) untuk Anggota Legislatif, Demos, 2011

[4] Arah Kebijakan Belanja Negara APBN Alternatif TA.2013, FITRA


[5] Ibid